Para penonton bioskop terpaksa rela untuk kembali menonton di rumah masing-masing mengingat angka yang terinfeksi covid-19 kembali meningkat. Semenjak akhir Juni 2021 jumlah kasus covid-19 melonjak cepat sehingga pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Kondisi buka tutup layanan bioskop memang kerap terjadi di masa pandemik, walaupun sekarang bioskop sudah mulai dibuka lagi untuk umum. Hal ini membuat media streaming digital sejenis Netflix, Disney+, Amazon Prime dan sejenisnya menjadi alternatif bagi para penggemar film, selain ahem…tentu saja film-film yang bisa diperoleh secara bajakan.
Menikmati “bioskop di rumah” juga menjadi menu keseharian saya untuk memenuhi hasrat menonton film. Dari sekian banyak film yang ditawarkan oleh layanan media streaming, ada sebuah film menarik yang ditayangkan oleh Netflix berjudul Polar (Jonas Akerlund, 2019). Bagi para penggemar film action sadis yang marak belakangan ini (menurut saya genre ini tiba-tiba menjadi populer lagi berkat film The Raid), Polar adalah salah satu film yang wajib ditonton.
Polar bercerita tentang tokoh pembunuh bayaran legendaris Duncan Vizla (Mads Mikkelsen) yang terkenal dengan julukan Black Kaiser. Seorang pembunuh bayaran yang siap untuk pensiun dari pekerjaan bunuh-membunuh. Namun rupanya, masa lalu tidak membiarkan sang jagoan untuk pensiun semudah itu. Black Kaiser terpaksa harus kembali masuk ke dunia kelam yang penuh darah.
Jika diperhatikan secara sekilas, film Polar ini mirip dengan film John Wick (Chad Stahelski) yang dibintangi oleh Keanu Reeves. Film John Wick hingga saat ini sudah memiliki 3 series yang ditayangkan melalui bioskop dan juga bisa ditemukan di berbagai layanan film streaming. Film-film John Wick sangat terkenal bukan saja bagi para penikmat film, namun juga sudah menjadi bagian budaya pop belakangan ini.
Antara Polar dan John Wick
Mari kita bahas satu persatu kemiripan antara Polar dan John Wick. Pertama, dari latar belakang cerita kedua film tersebut, dunia John Wick dan Polar sama-sama menceritakan tentang dunia gelap pembunuh bayaran. Dari masing-masing film dijelaskan bahwa dalam dunia mereka terdapat organisasi multinasional yang menyediakan jasa pembunuh. Hal yang membedakan dari kedua film ini adalah, “dunia” John Wick dari film pertama hingga ketiga tidak ditemukan sosok anak kecil sama sekali. Berbeda dengan Polar yang melibatkan tokoh anak kecil dalam filmnya. Lain lagi dengan “dunia” aneh ala Polar, sepanjang film Polar seolah tidak ditemukan polisi atau aparat hukum sama sekali.
Kedua, dari penggambaran tokoh John Wick dan Polar, kedua tokoh ini memiliki beberapa kemiripan seperti mereka ditampilkan sebagai tokoh yang yang bad ass. Diceritakan bahwa tokoh-tokoh tersebut adalah pembunuh legendaris pada masanya. Mereka sama-sama gemar mengenakan baju berwarna hitam dan gelap. Tentu saja bagi Duncan Vizla, warna gelap pun sudah melekat dari namanya: Black Kaiser. Selain terampil membunuh, Black Kaiser atau Baba Yaga (sebutan untuk John Wick) juga menguasai banyak bahasa. Kemiripan karakter antara kedua film ini juga ditampilkan dengan cara penggambaran sang jagoan juga memiliki hati yang lembut. Dengan memperlihatkan bagaimana kedua tokoh tersebut sebenarnya penyayang hewan. Baik Duncan Vizla dan John Wick, memiliki hewan peliharaan yaitu anjing.
Ketiga, narasi cerita yang mirip dengan menceritakan tentang kedua tokoh ini sebagai jagoan terbaik yang sudah pensiun dari profesinya. Mereka terpaksa kembali ke dunia gelap hanya karena ketidaksengajaan yang timbul akibat faktor luar. Keempat, pada akhirnya semua musuh yang berusaha membunuh mereka akan terkalahkan dan sang jagoan akan menang dan bertahan hidup. Tentu saja semua ini dibuat supaya penulis naskah bisa mengantisipasi untuk membuat film sekuel, jika para penonton memberi tanggapan positif.
Sekalipun banyak unsur-unsur yang mirip, kedua film ini memiliki ciri khusus yang berbeda. Misalnya dalam film John Wick, dunia terasa diciptakan khusus untuk para pembunuh bayaran lengkap dengan seluruh aturan dan prinsipnya. Cara penggambaran dunia dalam film John Wick terlihat lebih matang dan terperinci. Dunia John Wick memiliki aturan khusus bagi sesama pembunuh, lengkap dengan koin emas, pakta perjanjian dan beberapa hal lainnya yang tidak boleh dilanggar. Melanggar berarti mati.
Jangan dulu buru-buru membandingkan siapa yang meniru siapa antara film Polar dan John Wick. Berbeda dengan John Wick yang merupakan ide asli dari Derek Kolstad, penulis skenario untuk film John Wick pertama, Polar merupakan karya yang diadaptasi dari web komik karya Victor Santos dengan judul sama. Edisi web komik Polar diterbitkan ulang dengan beberapa tambahan dialog oleh Dark Horse Comic edisi Came from The Cold (2013).
Embrio Film Polar dan John Wick
Kedua film ini rupanya memiliki kesamaan dari satu sumber yang sama, yaitu novel berjudul Shibumi karya dari Rodney W Whitaker yang diterbitkan dengan menggunakan nama pena Trevanian. Novel Shibumi bercerita tentang Nicholai Hel, sosok pembunuh bayaran yang pensiun. Nicholai Hel yang menguasai berbagai macam ilmu membunuh, kemampuan berbahasa dan mampu membunuh musuh-musuhnya tentu saja mengingatkan kita pada premis yang sama antara film Polar dan John Wick.
Membandingkan cerita tentang para anti-hero ini, ternyata mereka mempunyai sejarah yang sudah berulang-ulang kali diceritakan sepanjang sejarah peradaban manusia. Joseph Campbell, seorang profesor kesusastraan dan juga peneliti mitologi menulis tentang bagaimana sosok pahlawan tercipta dalam buku The Hero with a Thousand Faces (1949, edisi revisi 1968). Teori Campbell di buku ini sangat mempengaruhi berbagai karya populer, baik novel, komik ataupun film. Apalagi semenjak George Lucas secara terang-terangan mengakui bahwa dia menciptakan Star Wars terinspirasi dari teori mitologi ini.
Menurut Campbell, pada dasarnya semua pahlawan memiliki kesamaan alur cerita. Mereka harus melalui beberapa fase dalam penuturannya. Berawal dari fase ‘the call’, pada fase ini sang jagoan harus memiliki panggilan untuk memulai kisahnya. Fase berikutnya ‘petualangan’, diawali dengan pertemuan sosok atau peristiwa yang membuat pahlawan tersebut memiliki “bekal” untuk memulai perjalanannya. Petualangan dilanjutkan dengan bertemu musuh dalam berbagai wujud. Pada fase akhirnya sang jagoan menang dan kembali pada kondisi awal. Perjalanan fase tersebut dianalogikan seperti siklus lingkaran kehidupan. Hal tersebut menjadi ramuan dasar semua cerita kepahlawanan karena pada hakikatnya, kita juga bisa merasakan hal yang sama ketika menempuh kehidupan.
Kembali tentang kajian film-film para pembunuh bayaran, saya mencoba menyederhanakan teori Campbell dalam tiga tahap sederhana: jagoan datang, jagoan perang, lalu jagoan menang. Melalui tiga fase sederhana ini, tampaknya semua film laga bisa tercipta dengan baik. Karena pada dasarnya kekuatan film aksi sadis semacam ini bukan terbangun berdasarkan alur narasi yang menggugah. Namun lebih disebabkan oleh adegan action ciamik yang melekat dalam benak para penonton. Lagipula, berapa banyak film laga yang memiliki kemiripan? Toh penonton tidak peduli, yang paling penting adalah bagaimana penonton terhibur menikmatinya.