Berseragam rompi kerja hijau berlogo Q-Mart, dia cocok dengan Q-Mart. Dia formal dan profesional, dan bagiku, terlihat seksi. Terkadang karena berbicara dengan gaya Times New Roman, terkadang karena sikap diamnya atau karena status sosial yang ditampilkan lewat baju seragam – dengan “mengenakan” peran tertentu, aku membayangkan diri tersembunyi di baliknya. (Kim Aeran, cerpen “I Go to Convenience Store“)
Sebagaimana kejatmikaan komersil kasir toko kelontong, vokalis utama boyband EXO, Do Kyungsoo, seakan mengarahkan saya untuk menonton film berjudul Cart ini. Awalnya memang demikian. Namun selanjutnya film ini memandu sekaligus menelantarkan saya dalam beragam pertanyaan mengenai representasi.
Dengan tajuk “Perempuan dalam Sinema Korea,” Selasar Sunaryo Art Space dan Korean Culture Center (KCC) Indonesia menggelar pemutaran film besutan Boo Jiyoung pada Sabtu 21 April 2018. Atas undangan seorang pemantik diskusinya, saya tertarik hadir. Biasanya sehabis menonton bareng film Korea, saya yang harus memberikan kuliah singkat soal konteks sosialnya. Sesekali saya ingin mendengar penjabaran orang lain.
Seperti tersirat dalam judulnya, film ini berkisar seputar pusat perbelanjaan. Setidaknya sekali dalam sepekan, kita pergi ke toko kelontong. Layaknya rumah ibadah, kita rutin pergi ke sana karena kita selalu berakhir memerlukan sesuatu. Di sana, kita jadi penguasa feodal untuk sementara. Namun, pernahkah kita memikirkan siapa orang-orang yang melayani kita itu?
Para Perempuan dalam Kungkungan Seragam Pegawai Supermarket
“Selamat datang pelanggan tercinta!” menjadi sambutan klise yang ditegakkan manajemen Mart, raksasa ritel yang semua kasir dan pegawai pembersihnya cuma karyawan sementara dengan kontrak terbatas.
Film ini didasarkan kisah nyata perlawanan buruh yang terjadi pada tahun 2007, setelah toko ritel Homover, memecat pekerja kontrak mereka dan mengalihkan kebutuhan pekerjanya lewat jalur outsourcing.
Sunhee (Yum Jungah) adalah seorang pegawai yang telah bekerja selama lima tahun, berharap status kontraknya berkembang jadi pekerja tetap. Dengan absennya sang suami, Sunhee butuh penghasilan lebih untuk menyokong fungsi domestiknya. Ada dua anak yang harus dibesarkan. Itulah sebabnya dia selalu bersedia bekerja ekstra.
Pegawai lainnya adalah seorang ibu tunggal ditinggal cerai, Hyemi (Moon Junghee). Katakanlah, dia lebih berkesadaran politis ketimbang Sunhee. Terutama ketika dia dipaksa manajer Choi (Lee Seungjun) untuk meminta maaf dengan berlutut pada pelanggan. Dari adegan ini, kita bisa melihat bagaimana perusahaan tak berusaha untuk melindungi pegawainya yang jelas-jelas telah menegakkan aturan perusahaan.
Para pegawai itu, orang-orang yang tak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, harus menumpang pada para pemodal. Kelas proletar sering menjadi target eksploitasi para majikan yang berorientasi kapitalis ini. Untuk itu mereka sering diperas tenaganya dan diberikan gaji yang rendah guna kepentingan meraup laba sebesar-besarnya.
Selalu ada jebakan dalam upaya merepresentasikan kaum buruh dalam sinema. Dalam esai berjudul The Poor and the Proletariat di Mythologies, Roland Barthes mengkritik film Modern Times. Dalam tafsiran Barthes, film-film Chaplin mereduksi kaum proletar semata kaum miskin. Sebuah klise yang sering terjadi. Meski tetap memunculkan dramatisasi, Cart tak larut menjadi reality show cengeng penuh optimisme murahan.
Pergulatan yang dihadapi perempuan diilustrasikan dalam berbagai macam perempuan yang bekerja di supermarket tadi. Ada lulusan muda perguruan tinggi yang tak bisa memperoleh pekerjaan lebih baik, ada perempuan lanjut usia dengan pendidikan pas-pasan. Mereka berasal dari beragam lapisan masyarakat, dari segala usia dan dalam situasi yang sama gentingnya.
Narasi Perlawanan adalah Cerita Muram
Di antara mereka yang kalah dalam kapitalisme adalah mereka dengan beban kerja tinggi bergaji rendah, dan diperlakukan mana suka oleh atasannya. Dengan kondisi tak ideal, para perempuan yang bekerja di Mart terpaksa butuh pekerjaan mereka. Kaum proletar, yang jauh dari menguburkan kapitalisme seperti yang diprediksi Marx, justru mempertahankan sistem ini untuk menghidupi dirinya sendiri.
Tensi film meningkat ketika, dalam upaya untuk memangkas pembiayaan, manajemen memutuskan untuk mengakhiri semua kontrak. Manajemen mengalihkan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja lewat perusahaan outsourcing, dengan alasan agar menurunkan gaji dan membebaskan mereka dari obligasi perusahaan atas karyawannya.
Ada catatan menarik: para lelaki dalam Cart memainkan peran penting dalam menghadirkan pandangan umum yang saling bertentangan ketika membahas kesetaraan gender di tempat kerja, dengan tanpa menghadirkan stereotip kacangan yang selalu menyederhanakan patriarki jadi semacam kriminal kelas kakap. Para eksekutif kepala, yang kesemuanya lelaki, ditampilkan menunjukkan ketakpedulian seksis yang dihasrati dorongan kapital.
Itulah sebabnya ketakpercayaan para pegawai rendah diikuti kemarahan ketika mereka mendapat SMS yang mengumumkan bahwa mereka dihentikan secara sepihak. Tak lama, para perempuan mulai mengorganisir diri dan menyerukan aksi pemogokan. Sunhee dan Hyemi menjadi tokoh sentral, dengan ditunjuk sebagai perwakilan serikat ini.
Tentu, manajemen tak tinggal diam: Penggiringan opini publik, iming-iming bagi orang penting di tubuh serikat, brutalitas polisi, sampai praktek premanisme. Para pegawai perempuan itu tampak seperti Don Quixote menyerang monster tak kasat mata; Pedangnya adalah serikat, lawannya adalah mesin raksasa bernama kapitalisme lanjut.
“Aku berharap film ini akan jadi kesempatan besar bagi penonton untuk memikirkan tentang kekuatan orang biasa,” harap sutradara Boo Jiyoung saat diwawancarai IndieWire. “Semua karakter dalam film ini sama seperti ibu-ibu kita, saudara perempuan-saudara perempuan kita, dan tetangga-tetangga kita.”
Do Kyungsoo: Cerita Sampingan atau Atraksi Utama?
Siapa yang peduli soal isu perempuan? Atau pekerja? Atau rakyat? Kekuatan bintang dari vokalis boyband Kpop populer, yang berperan sebagai putra Sunhee, akan menarik perhatian lebih.
Selain kisah utama David vs Goliath tadi, Taeyoung (Do Kyungsoo) mendapat porsi ceritanya sendiri: Marah dengan ibunya karena tak punya uang untuk mengongkosi tur sekolah, ia mengambil pekerjaan paruh waktu dan merasakan sendiri arti ketidakadilan.
Sebenarnya ada elemen heteronormatif ala drama Korea, yang mungkin agak mengusik wacana “representasi” tadi, tentang kisah si ganteng dan si cantik yang menjadi dekat karena kesamaan nasib (baca: kelas sosial). Antara Taeyoung dan Sookyung (Jiwoo), teman sekelas yang sama-sama mengambil pekerjaan paruh waktu di minimarket, sangat bisa alurnya dieksploitasi jadi kisah cinta picisan, namun tidak.
Dengan mengesampingkan bahasan apakah memainkan aktor rupawan adalah sebuah dosa, cerita Taeyoung ini saya pikir merupakan sebuah alegori klop untuk memahami yang liyan. Agar tak berpanjang-panjang dengan ceramah filsafat, saya kutip pasase Charles Bukowski dalam Ham on Rye: “Aku kira satu-satunya waktu saat sebagian besar orang memikirkan tentang ketidakadilan adalah ketika hal itu menimpa dirinya sendiri.” Refleksi penulis yang memang bagian kaum yang tercerabut, masyarakat bawah (proletar barangkali lebih tepat, meski Bukowski tak menggunakan istilah ini).
Cart mungkin tak bakal menyulapmu jadi pejuang isu-isu buruh perempuan, tapi setidaknya, saat pergi ke toko kelontong, kamu bakal memandang berbeda kasir yang melayanimu itu. Ada manusia dan kehidupan di balik seragam kerjanya.