“Sejauh apapun anak bungsu berlayar dan berkelana, ia harus kembali dan mengabdi kepada rumahnya.”
Kutipan ini saya dapatkan dari buku Serial Anak-Anak Mamak: Amelia karya Tere Liye. Sebagai anak bungsu, saya masih percaya dengan stereotip yang sangat tersemat bagi anak-anak terakhir ini. Paling dimanja, dapet enaknya saja, dan tidak bisa hidup mandiri. Hal ini masih saya hiraukan sampai saya menonton Home Sweet Loan dengan sekelumit konflik anak bungsu yang merupakan bagian dari generasi sandwich.
Seiring berkembangnya zaman, stereotip itu mulai terpatahkan dengan muncul dan populernya istilah generasi sandwich. Generasi yang perlu menghidupkan keluarga dari yang tua hingga muda hingga luput dalam memikirkan dirinya sendiri. Istilah ini mungkin sudah dikenalkan dalam film Indonesia sebelumnya seperti Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2022) sampai Gampang Cuan (2023). Namun, lewat film adaptasi novel berjudul sama karya Almira Bastari ini, kisah generasi sandwich ini begitu dekat dengan saya sebagai anak bungsu dengan urusan “rumah” secara fisik maupun non-fisik yang belum selesai.
Ceritanya sederhana. Kaluna, pegawai kantoran sekaligus model bermimpi punya rumah sendiri di Jakarta. Walau harga rumahnya mahal-mahal, tetapi ia tetap bersikukuh untuk menabung dan mencari rumah ideal di tengah pelariannya sebagai anak bungsu yang terimpit banyak urusan “rumah” mulai dari menghidupi orang tuanya yang sudah pensiun dan ditekan kedua kakaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal di satu atap yang sama.
Walau saya tergolong masih berada dalam tanggungan keluarga karena berkuliah, tetapi Home Sweet Loan membuka mata saya tentang masa depan yang harus saya lalui dengan mandiri lepas dari orang tua dan memiliki rumah sendiri. Pikiran saya berkumpul memikirkan bagaimana saya kerja kedepannya, bagaimana saya bisa mengelola uang untuk kedepannya, dan bagaimana saya bisa menciptakan “rumah” bagi keluarga saya di masa depan. Cerita Kaluna yang berasal dari keluarga menengah pun membuat saya dekat dengan filmnya. Tak sulit untuk menyesuaikan keadaan saya yang tinggal di kamar yang sempit, makan yang harus diirit-irit, atau tidak berlangganan layanan streaming musik demi mengumpulkan uang di masa depan.
Yang apik dalam drama ini memanglah cerita keluarga yang “napak tanah” dan dekat dengan generasi kelas menengah. Disebut kaya raya tidak bisa, tapi bukan yang tidak berkecukupan. Ia hanya tinggal di rumah peninggalan orang tua dengan sejuta kenangan yang sudah dilewati selama berpuluh-puluh tahun. Sabrina Rochelle dan Widya Arifianti berusaha untuk menaruh segala macam detil yang pernah dilewati kelas menengah: kepercayaan keberuntungan karena tokek, menyelipkan foto-foto masa kecil di meja kaca, atau sesimpel mengobrol bersama di meja makan. Hal ini menjadi kekuatan bagi filmnya untuk menawarkan kedekatan baik dijalin dalam sisi drama maupun komedi.
Isu generasi sandwich ini diperlihatkan sebagai beban anak bungsu zaman sekarang yang harus menanggung keperluan semua anggota keluarga, sementara dirinya tersisihkan hingga tidak dipedulikan nasibnya. Token listrik dibayar anak bungsu, barang anak bungsu dipakai satu rumah, sampai utang pun harus dibayar oleh anak bungsu. Realita anak bungsu zaman sekarang yang dialami dengan pedih, lalu dipojokkan dengan omongan kakak-kakaknya yang sudah mempunyai anak itu: “Nanti juga lo tau sendiri rasanya kalau udah punya anak”. Untung saja, Sabrina tidak membuat karakter Kaluna yang diperankan oleh Yunita Siregar sebagai sosok yang lemah dan mudah didramatisasi filmnya. Performa sejak ekspresi yang mengundang simpati sangat cocok bagi Yunita sebagai Kaluna yang mudah dikasihani, tetapi di satu sisi punya pendirian yang teguh ketika mengiyakan yang menurutnya baik dan menolak jika bertentangan dengan idealismenya.
Walau menyorot beban anak bungsu, film Home Sweet Loan juga berfokus pada akar masalah dari generasi sandwich tersebut. Gagalnya orang tua dalam mendidik anaknya ketika sang ayah berpihak pada anak perempuan dan ibu yang sangat memanjakan anak laki-laki walaupun ia adalah sulung. Filmnya menjadi tamparan juga bagi keluarga-keluarga muda yang tinggal di satu atap dan sering merepotkan anggota keluarga sekitarnya. “Namanya juga keluarga, masa nggak mau bantu-bantu sesama keluarganya”. Namun, jika repotnya berkelanjutan sampai mencabut hak anak bungsu sebagai bagian dari keluarga, untuk apa dipertahankan sebagai bagian dari keluarga? Mungkin terasa egois dan tak berperikemanusiaan, tetapi filmnya membawa kontemplasi yang menyeluruh dalam membentuk satu keluarga utuh yang saling mendamaikan.
Cerdiknya Sabrina dalam film panjang ketiganya ini adalah bagaimana teknis dari filmnya diarahkan untuk menyatu bersama ceritanya, bukan hanya penghias dan pemanis ceritanya saja. Hal yang paling mudah disorot adalah pemakaian musik yang menjadi bagian hidup Kaluna ketika pulang bekerja atau menikmati waktu-waktu sendiri. Lirik-liriknya mewakili dirinya dan penonton termasuk saya yang merupakan anak bungsu atau siapapun mereka yang perlu memikul beban yang tidak sewajarnya khususnya dari keluarga. Kegiatan mendengar lagu menjadi pelarian Kaluna dalam menghibur dirinya walau lagu-lagunya memang kebanyakan sendu dan bernada pesimis. Tata produksi juga ditangkap oleh sinematografi dan blocking karakter yang mahir ditempatkan dalam pengadeganan yang memanjakan mata. Ketika berada di rumah Kaluna, sempitnya rumah itu sama seperti sempitnya posisi Kaluna dianggap sebagai bagian dari keluarga. Eksplorasi ruang atas rumah-rumah yang dicari oleh Kaluna dan teman-temannya juga menimbulkan beberapa perspektif atas Jakarta yang semakin sulit fit untuk teman-teman kelas menengah. Penyuntingan dan tata kamera yang menyesuaikan ironi-ironi Jakarta yang mewah dan “sarangnya kelas atas” itu untuk berusaha menawarkan sisi-sisi cerita kelas menengah yang tak perlu untuk terlalu dikasihani, tetapi terjadi kepada semua orang yang terlahir dalam nasib yang biasa-biasa saja.
Pada akhirnya, Home Sweet Loan membuat saya mengerti beban anak bungsu di zaman sekarang yang bukan lagi dimanja atau paling spesial di mata orangtuanya. Di tengah kemajuan zaman, ternyata banyak yang perlu dipikirkan dan ditanggung untuk tetap hidup dan bertahan di masa yang akan datang. Lewat Kaluna, film ini tak hanya untuk anak bungsu semata, tetapi juga seluruh pejuang hidup yang sedang mempertaruhkan raga dan jiwanya untuk memenuhi segala kebutuhan mereka (dan juga keluarga mereka).