Di hadapan seorang aparatur negara dan sebuah alat perekam suara, Jon berikrar untuk menerima hasil pemeriksaan kesehatan. Hasil pengujian darah Jon akan menentukan dengan siapa ia mesti menikah berdasarkan pilihan negara. Melalui pemanfaatan aspek biologis, ditambah campur tangan lembaga medis, negara berupaya mengatur tubuh warga negaranya.
Ketentuan negara tidak setali dua uang dengan kehendak hati Jon. Jon terlanjur jatuh hati pada Vio, seorang gadis yang dengan gamblang menunjukkan perasaan padanya. Jon ingin menikmati waktu yang ia miliki bersama Vio sebelum hasil pemeriksaan dikeluarkan pihak rumah sakit.
Film ditutup dengan keputusan Jon dan Vio untuk melawan dan “mangkir” dari ketentuan pemerintah. Suburbia nampaknya meyakini bahwa tidak boleh ada yang mengekang tubuh dan hati, tidak terkecuali institusi raksasa bernama negara. Cinta mesti merdeka dari algoritma-algoritma biologi semata.
Jodoh Masa Depan
Menarik menyaksikan bagaimana sutradara Suburbia,Winnie Benjamin, mengimajinasikan masa depan Indonesia. Bila pada masa lampau, banyak muda mudi dijodohkan oleh keluarga mereka, maka di masa depan, negara yang mengambil peran tersebut. Dahulu orang menjadikan “bibit-bebet-bobot” sebagai kriteria, maka Suburbia menunjukkan kemajuan zaman melalui pencocokan kode genetika. Dengan kata lain, meski waktu berubah, ada yang tetap dipelihara, misalnya dalam hal berpasangan dan reproduksi.
Praktik “biro jodoh” yang dilakukan negara kemudian tidak hanya diikuti oleh ancaman sanksi hukum formal, melainkan pula sanksi sosial. Masyarakat yang menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah akan memastikan generasi muda bersikap “kooperatif” dalam mewujudkan tujuan negara.
Tuturan Winnie Benjamin dalam diskusi selepas pemutaran terasa menarik. Ia mengatakan bahwa ide cerita Suburbia bermula dari pengalamannya semasa SMA, yakni ketika orang tua Winnie menolak pacarnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila Winnie Benjamin membayangkan keluarga ―sebagai institusi sosial terkecil― seperti pemerintah otoriter yang mendikte hati.
Kisah dalam Suburbia lantas mengingatkan saya pada kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengenai tingginya resiko perceraian pada pernikahan usia muda. Di saat bersamaan, mau tak mau mengarahkan pikiran saya pada keberadaan Taman Jomblo di Kota Bandung, serta kegiatan nikah massal yang akan diadakan Pemprov DKI Jakarta pada malam pergantian tahun baru 2020. Berkaca pada fenomena-femonea tersebut, nampaknya para feminis benar, bahwa pada akhirnya the personal is political.