“Orang baik dan jahat, itu semua adalah permainan kata-kata.” Nasihat DJ kepada Finn ketika mereka berhasil mencuri pesawat di Canto Bight (Star Wars VIII: The Last Jedi). Keterlepasan dari label baik-jahat, sepertinya menjadi tema besar tentang trilogi ketiga dari Star Wars Saga (episode 7,8 dan 9).
Bebas saja kita memilih untuk menjadi seorang Jedi yang teguh pada prinsip dan bertanggung jawab seperti Obi-Wan Kenobi; atau pandai bijaksana seperti Jedi Master Yoda, yang mukanya mengingatkan kita pada Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensial terkenal dari Prancis. Bahkan tidak ada salahnya untuk menjadi remaja galau yang sebenarnya selalu ketakutan dan mencari jadi diri seperti Ben Solo (Kylo Ren). Setiap tokoh dalam kisah Star Wars memiliki penggemarnya masing-masing.
Akhirnya Rey, sosok misterius yang sedari awal menjadi pusat cerita trilogi ketiga Star Wars terungkap sudah. Melahirkan sintesa baru dalam semesta Star Wars bahwa garis keturunan bukanlah faktor utama untuk menentukan siapa diri kita. Rey adalah perpaduan dari ujung paradoks dunia Star Wars. Tidak jahat ataupun baik, Rey adalah sosok individu yang bertanggung jawab, dan menjadi apa yang dipilihnya.
Cerita tentang Grey Jedi sudah pernah dibahas dalam kisah-kisah Star Wars, dan nampaknya Star Wars dalam naungan korporasi raksasa Disney semakin memperjelas bahwa dikotomi Jedi/Sith sudah tidak terlalu relevan lagi. Kehadiran faksi baru dalam kisah utama Star Wars membuka pintu lebar untuk melanjutkan kisah dengan alur cerita yang lebih bervariasi.
Daisy Ridley, aktris pemeran Rey dalam kisah Star Wars pernah memiliki akun Instagram. Dalam salah satu foto instagramnya, Ridley menampilkan buku Fountainhead karangan Ayn Rand: sebuah kisah tentang arsitektur muda yang idealis. Tokoh utama dalam novel tersebut, Howard Roark bukan seorang tokoh protagonis yang memiliki kompas moral yang baik. Howard Roark adalah seorang individualis yang mengejar cita-citanya lebih dari apapun.
Terdapat kesamaan cerita antara Fountainhead dan kisah Rey. Howard Roark berpidato di pengadilan bahwa yang terpenting adalah menjadi diri sendiri dan menentukan prioritas diri sendiri terlebih dahulu. Sementara Rey melakukan hal yang sama dengan berkompromi untuk tidak membunuh Kylo Ren, demi obsesi untuk mencari jawaban tentang asal usul dirinya. Akhir kisah The Rise of Skywalker ditutup dengan jawaban. Sebuah jawaban untuk menyatakan siapa Rey sebenarnya.
Star Wars Di Bawah Naungan Disney Company
Pada akhirnya trilogi ketiga dari hikayat Star Wars ditutup dengan judul Star Wars episode IX: The Rise of Skywalker. Pro dan kontra silih berganti mengomentari tentang film ini. Perlu diingat untuk tidak membandingkan cerita Star Wars dengan film-film bersambung lainnya. Star Wars adalah film yang bukan berasal dari adaptasi novel. Ini yang menyebabkan efek kejutan menjadi penting bagi cerita Star Wars.
Disney saat ini memegang hak cipta untuk beberapa cerita populer seperti Marvel dan Star Wars. Semuanya dikendalikan untuk menciptakan peluang bisnis yang memprioritaskan keuntungan. Dari perspektif ini seharusnya tidak perlu lagi memperdebatkan apakah The Rise of Skywalker merupakan keberhasilan atau kegagalan dalam waralaba Star Wars.
Star Wars Universe terus saja mendatangkan keuntungan bagi Disney Company, juga menjadi tonggak baru untuk proyek streaming berbayar Disney+. Belum lagi dengan merchandise atau mainan yang berhubungan dengan Star Wars. Hal ini tentu membuat segala sesuatu yang tampil dalam film Star Wars berpotensi untuk menjadi barang dagangan.
Tokoh yang tidak dijelaskan asal-usulnya secara tiba-tiba muncul seperti Zorri Bliss, seorang perempuan yang memiliki relasi masa lalu dengan Poe Dameron. Ada juga tentang sekelompok desertir Stromtrooper yang dipimpin oleh Jannah tampak menarik untuk diceritakan. Hingga akhirnya sebuah lightsaber berwarna kuning pada adegan epilog, warna yang tidak pernah ada dalam cerita Star Wars saga, walau pernah muncul dalam versi game. Semua tanda ini seolah berteriak dengan keras bahwa cerita Star Wars belum selesai.
Selain cerita yang membuka peluang untuk melahirkan cerita-cerita sampingan, Star Wars pun terasa memiliki pesan-pesan terselubung mengenai political correctness, serta “memberikan perhatian lebih” dalam perkara cultural diversity. Keragaman ras direpresentasikan melalui sosok karakter-karakter penting. Dengan perkataan lain, saat ini pemeran Star Wars tidak lagi didominasi oleh orang kulit putih.
Demikian pula dengan stromtrooper yang sepanjang cerita Star Wars diposisikan sebagai “ayam sayur”. Setiap stromtrooper yang tertembak, suara laki-laki dan perempuan silih berganti terdengar. Jadi jangan lagi menyangka bahwa semua stromtrooper itu adalah laki-laki. Bahkan Disney berani menampilkan adegan “sepasang perempuan” yang berciuman.
Disney telah menciptakan trilogi ketiga Star Wars sebagai bunga rampai atau kumpulan trailer untuk cerita Star Wars kedepannya. Sekaligus sebagai pernyataan politik Disney yang berupaya mengakomodasi “berbagai golongan”, serta beriktikad menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Dengan beban sebanyak itu, wajar saja jika film ke-9 ini tampak kedodoran dari segi cerita.
Cerita Star Wars trilogi ketiga agaknya dipergunjingkan sebagai kisah terburuk Star Wars. Namun, bukankah Star Wars trilogi kedua (1,2 dan 3) juga sarat akan gunjingan? Komentar warganet bahwa George Lucas seharusnya tidak melepas hak cipta Star Wars terasa kurang tepat bila mengingat beliau juga yang bertanggung jawab penuh atas “jelek”-nya prekuel Star Wars. Dengan terjualnya Lucasfilm dengan harga US$ 4.05 miliar, berita persitegangan antara George Lucas dengan Disney jadi terasa agak mengada-ada. Jangan-jangan pemberitaan semacam ini hanya trik dagang semata?
Waralaba Star Wars tetap digandrungi khalayak, pun menjadi salah satu ikon pop terkenal di seluruh dunia. Di era internet, Star Wars bukan lagi sekedar film, melainkan sudah bertransformasi menjadi “brand” produk. Bahkan di tengah pemberitaan negatif tentang Disney ―karena dituding sudah merusak cerita Star Wars―, serial The Mandalorian mendapatkan respon sangat positif dari penikmat Star Wars Universe.
Apapun respon publik ―pujian atau cercaan― terhadap Star Wars, Disney tetaplah perusahaan yang menikmati keuntungan dari perseteruan dua kubu penggemar. Disney tidak akan berhenti untuk memproduksi film berikutnya dari dunia Star Wars, menjual pernak-pernik, mainan Star Wars dan menciptakan dunia Star Wars di Disneyland Park, California.