Setiap jam makan siang, bagi Futaba (Yoshine Kyoko), yang akan ia buka adalah kotak pandora. Teman-temannya tanpa perlu komando bakal mengerubunginya, dan Futaba selalu sukses berubah jadi badut kelas. Bekal makan dekoratif yang disiapkan mamahnya, dari jurig Sadako sampai pesan agar jangan malas cuci piring, adalah mimpi buruk yang harus dihadapi Futaba sepanjang masa sekolah menengah. Alih-alih melempar bento tersebut ke tempat sampah, Futaba menghabiskan setiap gigitannya, tetap irit kata ketika di rumah dan merasa tak dikalahkan.

Saya berusaha keras untuk menulis resensi ini tanpa pretensi emosional, tapi semakin berusaha menekannya, sialnya saya malah makin mengingat ibu saya sendiri dan bekal makan siang yang disiapkannya saat saya SMA. Berbeda dengan Futaba, kotak makan yang akan saya buka tak jauh antara mie goreng atau nasi tambah sosis dan telur. Namun ada kesamaan, saya dan Futaba, ketika semakin dewasa, jadi lebih emo dan gengsian, semakin jauh pula dengan ibu sendiri. Bento Harassment dengan komikal memotret fenomena psikologis ini sekaligus bikin orang-orang sentimentil terjun bebas dalam rollercoaster perasaan.

Ketika Nasihat Bijak Tak Mempan, Racik Kreasi Bento

Ibu Futaba, Kaori (Shinohara Ryoko), adalah orangtua tunggal. Karakternya, dan premis film ini, berdasarkan pada kisah nyata blogger yang ngehits berkat unggahan beragam bento dekoratifnya. Kaori biasa bekerja di sebuah izakaya, kedai minum-minum khas Jepang, dan tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama putrinya.

Adegan pembuka film dengan sangat baik menggambarkan pergulatan Kaori saat menerima perubahan putrinya: kita melihat dia mengingat berjalan bersama-sama dengan kedua putrinya yang masih kecil. Dengan ceria, Futaba kecil memberi tahu Kaori bahwa dia “selalu ingin bersama ibu.” Maju ke hari ini, adegan berikutnya menunjukkan Futaba, yang sekarang seorang siswa sekolah menengah, membenci segala sesuatu dari tugas-tugas rumahan, pagi hari, bahkan ibunya sendiri. Futaba menjadi pemurung dan banyak menuntut. Fase memberontak dihayati Futaba yang remaja.

Kaori memutuskan untuk mengambil langkah agar bisa berkomunikasi dengan putrinya, sekaligus melancarkan semacam upaya “balas dendam”. Kaori memilih untuk bikin senewen putrinya setiap hari dengan sesuatu yang Futaba benci: kyaraben. Bento yang dibuat seimut dan se-kawaii mungkin, yang biasanya diperuntukkan buat bocah taman kanak-kanak.

Awalnya, memang, meski Futaba kesal, tapi ia berlaga kalem dan bergeming. Namun, secara bertahap, kita menyaksikan apa yang awalnya pertempuran pasif-agresif berubah menjadi rutinitas komunikasi ibu-anak, yang dari hari demi hari memicu perubahan dalam kedua karakter tersebut.

Selain kisah utama tadi, ada subplot antara seorang ayah tunggal (Ryuta Sato) yang bergelut dengan putranya yang masih usia TK. Dia menemukan blog Kaori, mendapat inspirasi darinya dan selanjutnya meminta bantuan agar bisa juga menjalin komunikasi lewat sekotak bento.

Ini adalah kisah yang sangat sederhana tentang ikatan orang tua dan anaknya. Desain dan tambahan animasi grafis yang jenaka, dikawinkan dengan lansekap Hachijo-jima, pulau vulkanik yang terhubung dengan Tokyo tapi tetap dusun, tempat film ini berlangsung, menjadikan Bento Harassment jadi film keluarga yang hangat.

Apa yang Kaori dan Futaba Wacanakan tentang Cinta?

Dalam merakit bentonya, Kaori butuh waktu semalaman. Di Jepang, seorang ibu sudah biasa membekali anaknya bento untuk dibawa ke sekolah. Karena membuat bento bisa memakan waktu cukup lama, seorang ibu biasanya menyiapkan bahan-bahan sejak malam sebelumnya, untuk kemudian mengepak keesokan paginya. Bento bisa diidentikan dengan cinta keibuan.

Pada titik tertentu dalam garis evolusi organisme, dari mikroba sederhana paling awal hingga beragam makhluk kompleks yang hidup hari ini, cinta keibuan muncul sebagai cinta pertama di bumi (Lampert, 1997). Cinta maternal adalah cinta pertama yang diciptakan oleh evolusi dan cinta pertama yang dialami semua orang.

Meski perlu diluruskan, fakta ilmiah ini sering disalahtafsirkan bahwa fungsi domestik hanya kewajiban perempuan—yang sayangnya telah berlangsung ribuan tahun. Namun dalam kasus Kaori, sebagai ibu tunggal, segala kewajiban keluarga harus ditanggungnya. Cinta maternal yang muncul naluriah, sebagiannya berubah jadi “fungsi ibu” dalam Kaori. Mungkin, itu semacam beban. Dalam beberapa hal, saya berpikir bahwa cinta, apapun itu, suatu tanggung jawab yang memberatkan.

Cinta maternal menjadi prototipe dari semua cinta selanjutnya yang akan kita ketahui dalam perjalanan hidup kita. Cinta romantis, cinta yang paling dirayakan di bumi ini, berakar pada cinta maternal tersebut. Futaba dihadapkan pada cinta pada kalimat kedua. Bento, yang tadi identik dengan cinta keibuan, bisa difungsikan juga sebagai ekspresi cinta romantis. Dalam satu adegan, Futaba dengan malu-malu kucing meminta bantuan ibunya untuk mengajarinya bikin bento buat bekal kecengannya.

Antara Kaori dan Futaba, sebagai orang tua dan anak remaja, keduanya berada pada tahap yang berbeda dalam hidup dan mereka bertolak belakang dengan yang lain. Ada kekurangan pemahaman antara dua kelompok umur ini, ketika mereka harus menerima peran mereka dan adanya perubahan dalam cara interaksi. Bento Harassment mengingatkan kita untuk tidak menyerah pada orang yang kita cintai, bahkan ketika hidup tidak selalu cerah. Kita berhutang banyak pada kesuksesan kita sebagai spesies berkat hal mungil yang gila yang disebut cinta.

Saat awal menonton, saya tidak yakin akan menikmati film yang terkesan konyol dan kekanak-kanakan ini. Seiring film bergulir, saya mulai berempati bahwa ini adalah sesuatu yang orang tua selalu rasakan terhadap anaknya. Setelah film usai dan lampu auditorium menyala, saya termenung: mungkinkah saya bisa membuat ulasan film yang diputar pada Japan Film Festival 2019 ini tanpa harus bergulat dengan kecamuk sentimental?

Referensi:

Ashkenazi, Michael & Jeanne Jacob. 2013. The Essence of Japanese Cuisine: An Essay on Food and Culture. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Lampert, Ada. 1997. The Evolution of Love. Connecticut: Praeger.

Valsiner, Jaan. 2012. The Oxford Handbook of Culture and Psychology. New York: Oxford University Press.