Orang Jepang menyebutnya ikigai. Orang Inggris menyebutnya passion. Indonesia diwakili Nugie (sang penyanyi lawas bergaya pop rock itu) menyebutnya lentera jiwa.  Ya, lentera jiwa. Suatu hal yang muncul dari dalam diri kita dan menerangi sudut pandang  kesadaran kita untuk ingin terus-menerus melakukan suatu kegiatan. Itikad abstrak  yang menjadi dasar motivasi kita untuk bersemangat melakukan suatu hal yang kita cintai setiap hari. Perasaan hangat itulah yang  tumbuh sesaat setelah saya menyelesaikan menikmati film Aruna dan Lidahnya (Edwin, 2018).

Perasaan yang muncul kepada diri saya yang pernah menjadi chef ini seperti bernostalgia akan sensasi serunya berprofesi menjadi seseorang yang memberi nilai tambah kepada makanan. Juga profesi lainnya yang dekat dengan dunia rasa ini, seperti reviewer makanan, penulis buku makanan yang digali di film ini mampu menceritakan serunya dunia masak – memasak.  Judul film yang cukup gamblang menggambarkan bahwa sudut cerita film ini adalah diplomasi dunia makanan terhadap kehidupan, dimana peristiwa kuliner dapat memberikan warna kepada perjalanan  hidup manusia. Ya, makanan memang menjadi sebuah ajang yang bisa mempersatukan individu-individu, mencairkan suasana, dan menghadirkan romansa lebih dalam terhadap kehidupan.  Dalam film ini, makanan dikombinasikan dengan bumbu percintaan, yang membuat  film ini menjadi manis, lebih segar dan dramatis.

Cerita itu dimulai dari kisah seorang Aruna (Dian Sastro) ditugaskan oleh kantornya untuk menyelidiki suatu wabah penyakit di kota Surabaya dan Pontianak. Aruna yang memiliki seorang sahabat bernama Bono (Nicholas Saputra) yang berprofesi sebagai chef diajak turut serta dalam petualangan di kedua daerah tersebut. Bono tentu menyetujuinya dengan harapan perjalanan tersebut memberinya insipirasi dalam membuat menu baru. Kedua bersepakat untuk melakukan kulineran atau menjadi turis makanan di setiap daerah tersebut dimana Aruna bertugas disana.

Petualangan dua sahabat ini (yang berhasil melepaskan diri dari citra yang melekat di film sensasional mereka Ada Apa dengan Cinta?) semakin seru karena dilengkapi dengan hadirnya orang yang disukai Bono, bernama Nadezhda (Hannah Al Rasyid)  yang merupakan seorang food writer yang membutuhkan konten untuk buku terbarunya. Sosok Hannah Al Rasyid yang  sering terlihat maskulin di film lainnya juga luluh-lantak dengan penampilannya yang feminin dan energik. Munculnya Farish (Oka Antara), seorang mantan patner kerja yang pernah disukai Aruna untuk menemaninya menyelesaikan tugas ini memberi dimensi cerita yang lebih hidup dan seru.

Kombinasi peran yang bagus antar para aktor kawakan ini yang dilengkapi dengan bumbu cerita cinta dan petualangan mencicipi rasa–rasa di berbagai sudut kota membuat cerita ini cukup mengalir, meskipun dasar cerita ini sederhana.  Terasa drama yang dihadirkan, sebetulnya tidak terlalu kompleks, tapi  dapat cair dan mengalir. Momen – momen komedi yang disisipi sepanjang film membuat film ini terasa renyah dinikmati berbagai kalangan. Masalah dan tantangan yang dihadirkan juga merupakan lagu lama yang sangat seringkali ditemui dalam birokrasi di negeri ini.

Para penggarap film ini terutama para pembuat cerita juga patut diberi pujian karena berhasil menghadirkan detail-detail tentang masakan. Contohnya ketika dibahas sebuah makanan khas Madura bernama lorjuk. Makanan laut yang katanya sudah cukup langka ini mengingatkan akan kayanya budaya kuliner kita serta kekayaan alam kita.

Film yang mengambil 4 latar kota pengambilan tempat (Surabaya, Madura, Pontianak serta Singkawang) juga mempertontonkan kuliner khas daerah yang menjadi ciri khas suatu tempat. Makanan yang ditampilkan juga dapat menggugah selera para penonton karena sajian yang dihadirkan, disusun dengan rapi dalam pengambilan gambarnya. Hal yang unik lagi, pengambilan sudut pandang Dian Sastro yang sering bercerita ke kamera membuat film ini unik. Seakan–akan kita melihat diari hidup seseorang.

Kuliner, yang menjadi topik yang diangkat di film ini menjelaskan bahwa sifat makanan yang bukan saja secara harafiah saran untuk melangsungkan kehidupan memang menjadi ajang belajar bagi manusia untuk berdamai dan belajar menikmati kebersamaan, apalagi jika dihabiskan bersama orang–orang tercinta.  Melihat lebih ke dalam, kuliner juga dapat diperkenalkan sebagai identitas budaya nasional, bahkan menjadi sarana untuk bersahabat dengan orang–orang dari seluruh dunia.

Apakah sejatinya kuliner mempunyai fungsi lain yang unik, selain menawarkan kenikmatan di lidah? Saya rasa, kuliner yang hidup sepanjang sejarah itu sendiri, tentu menawarkan berbagai narasi lain dalam perjalanan peradaban dunia. Sebagai contoh, dari sebuah kota bisnis Australia, Sydney, kuliner mengajarkan arti perbedaan, dimana penguasa setempat menjadikan kuliner alat diplomasi kepada berbagai suku bangsa yang datang ke benua para migran tersebut. Ribuan jenis makanan bercampur di kota tersebut, membawa jati diri masing – masing suku bangsa tanpa ada yang merasa dianak-tirikan.  Seorang keturunan Nepal dapat merasakan Seafood ala Yunani di Sydney Fish Market, atau seorang Jepang mendapatkan pasta fresh buatan koki Italia di Newtown (salah satu area ikonik untuk restoran –restoran yang dijadikan Marron 5 untuk shooting video “Sky Full of Stars”-nya),  bahkan mungkin seorang Suriah menikmati sunset dengan segelas beer Jerman dengan tenang di bawah Sydney Opera House. Pemerintah Australia sadar bahwa kuliner adalah satu cara agar masyarakat yang begitu majemuk dapat berbaur dan memperkenalkan jati dirinya kepada individu yang berbeda.

Tentu saja, apabila kita meneropong dari sudut yang lebih mendalam, kita juga dapat melihat dengan insight baru, seperti tentang keberagaman, bahkan dari sisi makanannya sendiri. Misalnya soal rasa. Apabila hanya satu rasa yang menonjol dalam sebuah hidangan (hanya asin,  manis, pahit maupun cuma asam) tentu tidak akan memberikan efek kenikmatan apabila dibandingkan dengan suatu sajian yang memiliki keseimbangan rasa atau yang kita kenal dengan sebutan Umami ―Umami adalah rasa enak atau gurih yang muncul dari keseimbangan rasa asin, manis, asam, dan pahit.  Sering disebut rasa kelima―. Lebih jauh, kita dapat menerawang contoh rasa yang nge-hits hari ini seperti Salt Caramel mengajarkan pentingnya untuk memiliki berbagai elemen rasa dalam sebuah kesatuan, seperti asin dan manis. Orang yang mencicipi satu rasa pun, punya bahayanya. Kalau cuma manis, resiko diabetes tinggi. Hanya rasa asin, peluang darah tinggi besar. Itu baru dari sudut yakni rasa. Belum lagi dengan elemen lain seperti teksturnya: kenyal, lembut, kasar, hancur, kering, basah? Bagaimana dengan suhu makanan tersebut? Bagaimana menyajikannya: piring rumahan ala abang-abang nasi goreng atau keramik seperti di restoran fine dining? Dengan demikian, bagi saya Aruna dan Lidahnya sukses menampilkan dengan gamblang bahwa selayaknya relasi antara makanan dengan lidah yang mencicipinya, hidup manusia tidak bisa tidak beraneka.