Representasi menjadi kata kunci yang disebutkan oleh Tsukamoto Norihisa, Director General The Japan Foundation, pada konferensi pers Japanese Film Festival (JFF) 2018. Norihisa mengungkapkan bahwa film-film yang dipilih untuk diputar pada JFF 2018 diharapkan dapat menunjukkan berbagai representasi dari Jepang.

Antusiasme

Dalam tiga hari penyelenggaraannya, Japanese Film Festival 2018 di Bandung memutarkan 12 film. CGV Paskal23 Shopping Mall menjadi lokasi gelaran JFF perdana di Bandung 21–23 Desember 2018. Penyelenggaraan JFF sendiri bersinergi dengan midnight sale Paskal23 pada 21–22 Desember 2018. Selain Bandung, JFF diadakan juga di Jakarta, Makassar, dan Yogyakarta.

Sebulan sebelum penyelenggaraan, The Japan Foundation mengumumkan bahwa ada lebih dari 1800 orang yang mendaftar untuk menjadi volunteer JFF di Bandung. Selanjutnya, melalui media sosialnya The Japan Foundation mengumumkan keenam belas orang yang terpilih. Angka-angka tersebut dapat menjadi salah satu indikasi tingginya antusiasme Bandung dalam menyambut JFF, di samping tingginya angka penjualan tiket film. Tiket dapat diperoleh melalui pembelian langsung di loket CGV atau melalui sistem daring yang dibuka sejak 18 Desember. Pada setiap sesi pemutaran, setidaknya 75 persen kursi auditorium terisi, tidak terkecuali pada sesi pemutaran pertama pk 10.30. Auditorium yang digunakan adalah audi 1 (starium) atau audi 2, yang notabene-nya merupakan auditorium dengan kapasitas penonton terbanyak.

Shoplifters (Hirokazu Kore-eda, 2018) menjadi film utama yang sudah dinanti khalayak seiring kemenangannya menjadi film terbaik pada ajang Cannes Film Festival 2018. Untuk itu, berbeda dengan sistem pembelian tiket film lainnya yang dapat dilakukan beberapa hari sebelum pemutaran, tiket Shoplifters baru dapat diperoleh mulai pk 10.00 di tanggal 23 Desember. Calon penonton yang sudah mengantre sejak mall belum dibuka nampak terengah-engah berlarian menuju loket CGV demi memastikan diri mendapatkan kursi.

Representasi

Jika Jepang adalah negeri nan jauh di sana, JFF menjadi teropong yang saya gunakan untuk berusaha melihatnya lebih dekat dan semoga, lebih jelas. Dari dua belas film yang diputar JFF, saya berkesempatan menonton tujuh di antaranya.

Petualangan saya dimulai dengan Chihayafuru Part 3 (Nori Kuizumi, 2018). Jika pada konferensi pers, Chelsea Islan mengatakan bahwa ia antusias ingin menonton sekuel ketiga Chihayafuru, saya justru sempat khawatir tidak bisa mengikuti kisahnya karena belum pernah menonton dua bagian sebelumnya. Untungnya kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Semangat Chihayafuru membuat saya paham mengapa film tersebut dipilih sebagai film pembuka. Tekad (kehendak yang kuat), kerja keras, ketulusan, kesetiaan, dan dedikasi menjadi nilai yang gamblang diamplifikasi dalam Chihayafuru Part 3.

Nilai-nilai tersebut kembali teresonansi dalam film-film yang saya tonton pada hari kedua dan ketiga. Film The 8 Years of Engagement (Takahisa Zeze, 2017) menunjukkan bahwa mencintai bukan hanya persoalan alamiah spontan — “dari mata turun ke hati” — . Hal yang lebih penting adalah perkara komitmen-untuk-mencintai. Cinta, dengan demikian, tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif dan terberi — “jatuh” cinta — , melainkan bagian dari kebebasan untuk memilih dan menuntut kerja keras yang tidak berkesudahan.

Color Me True (Hideki Takeuchi, 2018) yang tayang setelah pemutaran 8 Years of Engagement melanjutkan maraton sedu-sedan saya hari itu. Setelah sekian lama saya tidak pernah terseguk-seguk saat menonton film di bioskop, Color Me True sukses membuat saya gamang bahkan setelah keluar dari auditorium. Film ini menjadi manifestasi yang pas dari ide filsuf fenomenologi asal Perancis, Jean Luc Marion. Marion mengatakan bahwa cinta adalah persoalan: only give. Cinta yang pamrih atau diperlakukan seperti pertukaran ekonomi —take and give— hanya akan membebani dan melukai. Sebagaimana Chihayafuru Part 3, Color Me True juga berbicara mengenai kecintaan pada dunia yang kita hidupi.

Melankolia selepas menyaksikan 8 Years of Engagement dan Color Me True digantikan oleh gelak tawa saya menyaksikan film horor komedi One Cut of the Death (Shinichirou Ueda, 2017). Sebagaimana Chihayafuru part 3, One Cut of the Death juga nampak ingin menunjukkan bahwa aneka keterbatasan dan hambatan bukanlah alasan untuk mencapai dan “menyukseskan” suatu tujuan.

Pemutaran Sabtu 22 Desember ditutup dengan film kolaborasi Jepang dan Indonesia The Man from the Sea (Koji Fukada, 2018). Memori kolektif Indonesia dan Jepang sebagai sesama negara yang pernah mengalami dahsyatnya tsunami dikisahkan film ini dengan nuansa realisme magis. Gaya penceritaan tersebut menjadi sesuatu yang menarik sebab alam semesta tidak dipandang sebagai antagonis “sumber bencana”, melainkan sebagai daya “ajaib” yang melahirkan tremendum et fascinosum.

Pada hari terakhir JFF 2018, saya menyaksikan dua film, The Crimes that Bind (Katsuo Fukuzawa. 2018) dan Shoplifters (Hirokazu Kore-eda, 2018). Jika pada Sabtu siang saya menyaksikan dua film yang bernuansa melankolis, maka pada Minggu malam berturut-turut saya disuguhi film bernuansa muram. Kedua film tersebut sama-sama menunjukkan suasana suram, getir, dan misterius dari hubungan keluarga.

Meski bertemakan misteri kriminal, The Crimes that Bind tetap menunjukkan nilai-nilai keutamaan yang juga saya saksikan dari film-film sebelumnya. Alih-alih menunjukkan penceritaan hitam-putih antara kebajikan vs kejahatan, The Crimes that Bind justru menunjukkan wilayah samar dari kehidupan manusia. Kejahatan bukan tidak mungkin justru terlahir dari ekses prinsip kebajikan. Nilai-nilai seperti tekad dan kesetiaan dihadapkan pada aneka pelanggaran moral. Film kriminal ini seolah sengaja menyodorkan studi kasus persoalan etis: jika berada dalam kondisi seperti itu, pilihan apa yang akan saya pilih, dan apa saya akan menyesalinya?

Jika pada film-film hari kedua ditunjukkan bagaimana pilihan moral bukanlah sesuatu yang terlampau dilematis, maka The Crimes that Bind dan Shoplifters justru mengaburkan hal itu. Jika “kemaslahatan bersama” tidak mungkin dicapai, maka nilai mana yang akan kita prioritaskan? Dan apa artinya kita boleh dan/atau bisa sementara mengesampingkan nilai yang lain?

Selain karena posisinya sebagai film utama, penempatan Shoplifters pada akhir rangkaian sesi JFF 2018 di Bandung juga menunjukkan hal lain. Bermula dengan semangat menggebu Chihayafuru part 3, penonton diajak untuk menutup petualangannya dengan “kritik yang menggigilkan” dari Shoplifters. Shoplifters menantang, bahkan seakan hendak merobohkan nilai-nilai “konvensional” (yang juga muncul dalam film) Jepang. Shoplifters rasanya seperti mengolok-olok sekaligus mengajak saya untuk memikirkan ulang aneka nilai moral (dan) kemanusiaan. Kesetiaan, misalnya, benarkah itu sungguh ada, atau hanya perkara persamaan atau irisan kepentingan saja ―dan acap kali bersifat temporer pula―?

Kritik Shoplifters terasa lebih “nyinyir” ketimbang The Crimes that Bind karena ia menempatkan masyarakat dan negara pada posisi sebagai pihak yang “tidak terlampau bermoral”. Publik acap kali “absen dan abstain” dalam berbagai “gejala” pelanggaran moral, namun kemudian mendadak riuh ketika hal tersebut sudah menggunung menjadi puncak es. Padahal, ketidakpedulian dan pembiaran tidak kalah buruknya dengan tindakan menyembunyikan separuh fakta.

Kehendak untuk bersama —du contract social— bisa jadi tidak cukup untuk membangun “keluarga”. Di titik itu, nampaknya Kore-eda tidak hanya mengungkapkan pesimisme mengenai keluarga (dalam arti sederhana), melainkan juga keluarga raksasa dalam bentuk negara. Pada dunia kontemporer yang ditandai dengan tingginya mobilitas manusia, apakah ide “saudara sebangsa” tetap relevan? Terlepas dari statusnya sebagai film yang paling dinanti, pilihan untuk memutarkan Shoplifters di sesi penutup JFF 2018 mengisyaratkan bagaimana Jepang berani membuka diri untuk melakukan redefinisi dan otokritik atas berbagai nilai dan prinsip sendiri.

Akhir kata, saya sangat menikmati petualangan saya meneropong beraneka representasi Jepang; dari serunya bermain baduk hingga terlantarnya kehidupan anak; dari mengerikannya zombie hingga sukarnya memelihara janji. Jika realitas adalah seumpama bawang, maka film-film yang sudah saya saksikan di JFF 2018 sudah membantu saya mengupas sedikit lapisan-lapisannya.