Santos Bandung Film Festival diadakan pada tanggal 20-22 Oktober 2017 di Auditorium Balai Kota, Spasial, dan Ruang Sinesofia Universitas Parahyangan. Festival ini adalah bentuk kolaborasi antara Santos dan Bandung untuk saling mempromosikan film-film independennya ke masing-masing kota. Menurut Tita Dwinita Larasati (ketua Bandung Creative City Forum), Kota Santos dan Bandung dianggap mempunyai kesamaan secara sosial ekonomi, dan film-film yang dipilih menyentuh topik-topik sustainable development goals (SDGs) seperti kesetaraan gender, zero hunger, dan kehidupan di darat.

SBFF memutarkan 38 film yang berasal dari Bandung maupun Santos yang dibagi ke dalam 4 program berbeda: Aduh Lieur, Ceunah Tjakep, Ena-ena tapi Gak Ena, dan pemutaran khusus.

Tulisan mengenai SBFF ini merupakan hasil penyuntingan dari esai sepanjang 14 halaman yang kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Masing-masing tulisan berupaya mengevaluasi keberjalanan festival melalui analisis penonton, film, dan programasi.

Tontonan dan Reaksi Penonton

Karakter dan kultur penonton yang berbeda (antara penonton Bandung dan Santos) melahirkan reaksi yang berbeda saat film-film tertentu diputar. Hal inilah yang saya pelajari selama SBFF berlangsung. Film The Flow di program Ena-ena tapi Gak Ena menampilkan tubuh perempuan dengan gaya teatrikal yang membuat beberapa penonton Bandung merasa tidak nyaman.

Saya melihat dua penonton walk out saat film masih berlangsung. Padahal, dalam budaya Indonesia lampau, tubuh memiliki konotasi netral. Namun, kini tubuh seperti mempunyai stigma negatif karena bentuknya yang diseksualisasi—bahkan oleh pemerintah sendiri melalui undang-undang pornografi dan pornoaksi.

Netralitas dalam melihat tubuh nampaknya jadi hanya dimiliki masyarakat rural Indonesia―misalnya tecermin dalam kegiatan mandi beramai-ramai di sungai, yang mana tubuh tidak dipandang seksual atau cabul (obscenity).

Di Indonesia, Lembaga Sensor Film memberlakukan kebijakan sensor pada adegan film yang memperlihatkan bagian tubuh tertentu. Kebijakan dan cara berpikir ini tentu saja terutama mengacu pada tubuh perempuan, yang menghasilkan reaksi yang berbeda-beda di masyarakat. Di satu sisi, ada pihak yang menganggap kebijakan ini tepat. Di sisi lain, ada pula yang menganggap kebijakan ini bersifat misoginis dan mencerminkan kuatnya sistem patriarki di Indonesia.

Jika saya kembali pada kenyataan bahwa sejumlah penonton (baik laki-laki maupun perempuan) tidak merasa nyaman menyaksikan tubuh perempuan, maka cara pikir masyarakat―termasuk yang kemudian diafirmasi oleh pemerintah melalui kebijakannya― memiliki andil besar.

Segmentasi Penonton

Hal yang menarik bagi saya adalah keputusan panitia untuk memutarkan film dengan subtitle bahasa Inggris, alih-alih menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Kondisi ini tentu berbeda dengan Santos Bandung Film Festival yang diadakan di Santos, di mana film Bandung diputarkan dalam bahasa Spanyol.

Pemilihan penggunaan subtitle Inggris untuk film Santos menujukkan dua hal. Pertama, panitia relatif yakin bahwa penonton yang hadir mampu berbahasa Inggris. Pilihan ini tentu mengandung risiko, sebab penonton digelayuti tugas ganda: memahami budaya Brazil yang terdapat dalam film-film Santos, dan menerjemahkan Bahasa Inggris ke dalam pola pikir orang berbahasa Indonesia.

Sangat mungkin misalnya seorang penonton yang hanya sedikit menguasai Bahasa Inggris mengalami kesulitan untuk menerjemahkan istilah-istilah yang rumit. Tentu amat disayangkan ketika seorang penonton kehilangan sebagian makna dari film yang ditontonnya. Oleh karena itu, segmentasi penonton mengerucut pada orang-orang yang mampu berbahasa Inggris.

Sebagai pembanding, pemutaran film asing di ruang-ruang budaya (bukan bioskop di pusat perbelanjaan) di Bandung, seperti pemutaran film Perancis di Institute Francais Indonesia (IFI) dan film Jerman di Goethe Institute juga umumnya ber-subtitle Bahasa Inggris. Hal-hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa penonton yang datang berasal dari kelas menengah terdidik. Hal ini juga ditegaskan oleh pemilihan tempat pemutaran film: Balai Kota, Spasial—yang merupakan ruang kegiatan kreatif kaum muda, dan auditorium universitas.

Setiap harinya jumlah penonton berkisar antara 70-110 orang. Angka tersebut adalah angka yang tinggi bagi sebuah acara pemutaran film alternatif berupa film pendek, di tempat yang alternatif pula.

Penonton didominasi oleh pelajar dan kelompok usia dewasa muda. Kondisi ini tidak mengherankan sebab film alternatif memang identik dengan generasi milenial di era demokratisasi teknologi: Generasi yang membuat film menggunakan kamera digital SLR dan menonton film melalui komputer pribadi.

Budaya Menonton

Jika rata-rata festival film berlangsung dengan suasana pemutaran dan diskusi yang relatif serius, SBFF menghadirkan suasana yang agak berbeda. Pemutaran film dan jalannya diskusi kerap diriuhkan oleh celetukan-celetukan dan komentar penonton, serta guyonan dari moderator/MC. Kondisi ini tentu adalah sesuatu yang menarik untuk ditelusuri lebih lanjut.

Apakah penonton Bandung memiliki budaya interupsi yang kuat? Apakah berguyon adalah karakter khas masyarakat Bandung? Apakah justru ini adalah tanda dari kecendrungan mudah terdistraksi dan atau bereaksi (impulsif)? Jika ini lebih terkait dengan alasan yang kedua, lantas apakah ini adalah pengulangan dari tradisi menonton film di era layer tancap atau misbar?

Kondisi tersebut mengingatkan saya dengan penelitian saya pada tahun 2013 pada salah satu bioskop di Kota Bandung. Dari penelitian tersebut, saya mendapatkan kesimpulan bahwa aktivitas menonton film bagi masyarakat Bandung tidak lebih penting dari momen kebersamaan ketika menonton itu sendiri. Kecenderungan ini pun sebetulnya telah terlihat sejak era pemutaran misbar, layar tancap, bahkan pertunjukan wayang.

Dengan kata lain, hubungan antara “saya” dengan film tidaklah cukup, sebab kondisi ideal justru tercapai ketika terjalin kebersamaan antara “saya” dengan penonton lain. Jika mengacu pada hasil penelitian saya tersebut, maka celetukan dan kelakar yang terjadi selama menonton dan mendiskusikan film menjadi dapat dipahami.

Pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa SBFF memungkinkan kondisi tersebut? Apakah karena atmosfir festival yang cenderung santai? Atau justru karena penyelenggara festival dan penonton masih berasal dari lingkaran sosial yang sama?

Jika demikian, maka pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah film alternatif di Bandung ternyata belum menjangkau masyarakat di luar komunitas film? Pertanyaan yang nampaknya sulit dijawab langsung melalui tulisan ini.