Naruhito, anak tertua dari kaisar Jepang Akihito telah resmi naik tahta pada tanggal 1 Mei 2019 dan juga secara resmi menjadi kaisar Jepang yang ke-126, serta menandakan sebuah zaman yang baru juga bagi pemerintahan Jepang. Periode atau era tersebut diberi nama 令和 (Reiwa) yang berarti “harmoni yang indah” (yang sebelumnya bernama 平成 [Heisei] dengan arti “kedamaian di mana pun”). Perlu diketahui bahwa bagi masyarakat Jepang, setiap era melambangkan sesuatu yang juga diharapkan menjadi semangat para warganya sendiri. Semangat keharmonisan yang indah ini juga  tertuang dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat di Jepang, termasuk hiburan dan budaya. Walaupun tidak disebutkan secara langsung, semangat keharmonisan yang sama dapat dirasakan juga melalui Japanese Film Festival 2019.

Perhelatan Japanese Film Festival 2019 (selanjutnya disebut JFF2019) di Indonesia telah memasuki tahun yang keempat dan untuk pertama kalinya di tahun ini, JFF2019 diadakan di Surabaya setelah sebelumnya hanya diadakan di 4 kota besar Indonesia yaitu Jakarta, Makassar, Jogjakarta, dan Bandung. Pemilihan Kota Pahlawan ini sebagai ekspansi pengenalan budaya Jepang melalui film juga bukan merupakan sebuah kebetulan, karena pihak Japan Foundation Jakarta (organisasi penyelenggara Japanese Film Festival) mendapat banyak masukan dari peminat budaya Jepang di sana yang menginginkan agar festival film ini dapat diselenggarakan juga di kota tersebut. Alhasil, penyelenggaran JFF2019 perdana di kota tersebut juga mendapatkan respon yang positif serta disambut dengan baik oleh para penikmat budaya Jepang maupun penikmat film pada umumnya. Selain itu, JFF2019 juga kembali bekerja sama dengan CGV Cinemas dengan lebih banyak opsi pembelian tiket secara daring, seperti Traveloka, BookMyShow, TIX.ID, Goers, dan lainnya. Harga tiket juga masih sama seperti tahun lalu sebesar Rp 20.000,- terkecuali Makassar dengan harga Rp 15.000,- saja.

Selain penayangan film, JFF2019 juga mengadakan lokakarya dengan mendatangkan narasumber yang aktif dalam dunia perfilman dan pemutaran film klasik sebagai bentuk pre-event yang dimaksudkan untuk menarik minat penonton dari komunitas perfilman. Workshop di Makassar mendatangkan Prima Rusdi (penulis skenario Ada Apa Dengan Cinta? 2), di Surabaya mendatangkan Edwin (sutradara Posesif, Aruna & Lidahnya), sedangkan di Bandung mendatangkan Yandy Laurens (sutradara Keluarga Cemara) dan Ravi Bharwani (sutradara Jermal, 27 Steps of May).

Kota Bandung kembali menjadi perhentian terakhir penyelenggaraan JFF. Hanya saja bila tahun lalu acara diadakan di CGV Paskal23, gelaran JFF2019 berlokasi di CGV Paris van Java. Dari “kandidat” sekitar 40 judul film, kemudian terpilihlah 14 film yang menjadi official selection JFF2019. Namun, hanya 13 film yang diputarkan di Bandung, sebab film dokumenter berjudul Katsuo-bushi hanya ditayangkan di Jakarta.

Film

JFF2019 di Bandung dibuka dengan penayangan Samurai Shifters (Isshin Inudo, 2019) sebuah drama komedi historis yang menceritakan tentang kisah perlawanan terhadap shogun melalui relokasi. Pada abad ke-17 di Jepang, tepatnya pada era kepemimpinan Tokugawa, dominasi politik dapat diperlihatkan dengan sebuah perintah untuk memaksa beberapa penguasa dengan memindahkan klan-nya dari suatu daerah ke daerah yang lain. Pemberitahuan tak terduga, tujuan yang jauh dari tempat semula, serta keterbatasan waktu dan dana merupakan tantangan-tantangan yang mesti dihadapi ketika terjadi relokasi. Samurai Shifters bisa saja merupakan sebuah cerita fiksi dari sebuah sejarah, namun isu relokasi tetap relevan dengan situasi hari-hari ini. Pendekatan komedi yang digunakan Samurai Shifters juga sangat membantu dalam memahami pesan yang hendak disampaikan oleh filmnya. Mengingat bahwa penyelenggaraan JFF2019 bersamaan dengan “relokasi” periode Heisei menuju Reiwa, maka bisa diandaikan bahwa transisi ini akan berlangsung dengan baik pula, sama seperti pesan pada filmnya.

Setelah mengarungi abad ke-17 di Jepang, JFF2019 di Bandung menayangkan film keduanya yang berjudul 12 Suicidal Teens (Yukihiko Tsutsumi, 2019). Film ini mengambil latar zaman modern dengan mengangkat isu bunuh diri dan kesehatan mental pada generasi muda. Dibintangi oleh sederet aktor dan aktris muda berbakat yang tengah naik daun, 12 Suicidal Teens memperlihatkan alasan-alasan bunuh diri dari pelbagai kalangan dan kelas sosial yang berbeda-beda. Sebagai catatan, pada kurun waktu tahun 2017-2018 saja di Jepang ratusan anak usia 10-19 tahun meninggal karena bunuh diri.

Melalui perspektif masing-masing tokoh, penonton diajak untuk berempati pada situasi yang mereka hadapi. Film ini seakan hendak menegur kita (baca: masyarakat), bahwa hal-hal yang kita anggap remeh-temeh, sebenarnya begitu penting bagi orang lain. Film dengan isu provokatif ini hadir sebagai pengingat bahwa keseimbangan adalah nilai penting: kehidupan manusia lain sama berharganya dengan hidup kita sendiri. Hanya terfokus pada kepentingan diri sendiri membuat kita mengabaikan hal-hal di luar. Semua orang mesti memperjuangkan hidup, dan ikatan emosional antarmanusia penting. Sebab dengan demikian, setiap orang dapat saling memberikan dukungan satu sama lain.

Setelah kedua film tersebut, rangkaian film berikutnya memiliki tema eksplorasi tersendiri akan kehidupan, baik itu emosi, diri sendiri, maupun keluarga. Dance with Me (Can’t Stop the Dancing) (Shinobu Yaguchi, 2019) berbicara tentang kebahagiaan menjalani hidup melalui upaya menyeimbangkan emosi dalam diri. Pilihan untuk menjadi diri sendiri atau mengejar imaji sosok ideal yang dikagumi orang lain dan melepaskan diri dari trauma masa lalu merupakan sebuah pesan yang kuat dari film ini. Di saat bersamaan, Dance with me seakan hendak menyindir film musikal pada umumnya yang karakter-karakternya selalu sontak menyanyi dan menari ketika mendengar suara musik. Di film ini, pemandangan tersebut selalu berakhir dengan kekacauan, sebab situasi tersebut digambarkan hanya terjadi dalam imajinasi karakternya.

Sebagaimana film Last Christmas (Paul Feig, 2019) yang diadaptasi dari lagu dan rilis beriringan dengan gelaran JFF2019, film Little Love Song (Kojiro Hashimoto, 2019) pun diadaptasi dari lagu populer berjudul sama ―Chiisana Koi no Uta, dalam bahasa Jepang― karya MONGOL800. Band itu berasal dari Okinawa, prefektur yang juga menjadi latar cerita filmnya. Lagu yang dirilis tahun 2001 ini pernah bercokol di peringkat pertama selama 14 minggu sebagai lagu yang paling sering dinyanyikan di karaoke. Popularitas lagu ini tetap besar hingga kini karena kerap dinyanyikan oleh penyanyi populer lainnya. Seperti yang dituturkan oleh salah satu tokoh “musik mengajariku banyak hal tentang hidup”, film ini juga menunjukkan bahwa sebagai karya seni, musik membuat kita menyadari hal-hal penting dalam hidup.

Sebagaimana harmoni yin-yang, My Dad is a Heel Wrestler (Kyohei Fujimura, 2018) menunjukkan bahwa perbedaan ―”antagonisme”― adalah sesuatu yang signifikan dalam kehidupan. Film ini dengan gambling menunjukkan sisi lain dari ayah yang bekerja sebagai pegulat. Maskulinitas ayah berpadu dengan sikap mengayomi, kelembutan, bahkan kerapuhannya. Bila My Dad is a Heel Wrestler memotret relasi antara ayah dan anak laki-lakinya, film Bento Harassment (Renpei Tsukamoto, 2019) mengeksplorasi hubungan ibu dan anak perempuan remajanya. Film ini menunjukkan dengan cara yang manis dan hangat, bahwa makanan bukan hanya sekedar untuk bertahan hidup (“survive”), melainkan juga perkara menikmati dan mensyukuri kehidupan (“alive”).

Satu-satunya film animasi yang hadir dan paling banyak dinanti oleh komunitas Jepang di Bandung berjudul Children of the Sea (Ayumu Watanabe, 2019), memiliki tema yang kompleks tentang asal-muasal manusia. Film ini menggambarkan dengan indah keterkaitan kita dengan alam semesta. Keseimbangan alam penting bagi demi kelangsungan hidup bersama.

Selain karena satu-satunya film animasi, film ini juga menarik perhatian banyak kalangan pecinta Jepang karena musiknya yang dipegang oleh komposer yang seringkali mengisi film-film dari Studio Ghibli yaitu Joe Hisaishi, ditambah dengan lagu tema yang dinyanyikan Kenshi Yonezu, seorang penyanyi dan juga komposer yang sangat terkenal dalam beberapa tahun terakhir. Faktor lainnya adalah kemunculan Ashida Mana sebagai seiyuu (pengisi suara) karakter utama. Ia adalah seorang artis cilik yang populer pada tahun 2011–2013 karena lagu dari sebuah drama di Jepang yang sempat viral selama setahun lamanya.

Hadirnya film Indonesia dalam gelaran JFF2019 di Bandung juga merupakan salah satu faktor pendukung bertambahnya peminat kegiatan festival film ini. Humba Dreams (Riri Riza, 2018) yang ditayangkan pada hari Minggu pagi juga berhasil menarik penonton dari sejumlah komunitas pecinta film Indonesia. Sesi tanya jawab bersama sang sutradara yang diadakan setelah pemutaran berlangsung seru karena banyaknya pertanyaan penonton. Pada sesi diskusi tersebut dibahas pula latar belakang pembuatan filmnya tersebut. Problematika budaya dan keresahannya menjadi tema utama dalam filmnya.

Tak hanya Humba Dreams, salah satu fragmen dalam film omnibus Angel Sign juga digarap oleh sutradara Indonesia, Kamila Andini. Angel Sign (2019) adalah omnibus karya kolaborasi enam sutradara dari berbagai negara: Tsukasa Hojo, Nonzee Nimibutr, Ham Tran, Ken Ochiai, Masatsugu Asahi, dan Kamila Andini. Tanpa dialog dan hanya diiringi lantunan musik, Angel Sign berkisah dengan puitik mengenai arti dari kehilangan.

JFF2019 ditutup dengan penayangan We are Little Zombies (Makoto Nagahisa, 2019), sebuah drama satir tentang anak-anak yang kehilangan emosi dan perasaannya karena kekeliruan pola asuh. Mereka kemudian bersepakat untuk membentuk sebuah band demi menyampaikan apa yang dirasakannya. Sekalipun menimbulkan kesan kurang nyaman karena gelapnya komedi yang disajikan, film ini juga menjadi pengingat akan kehidupan bahwa ada hal-hal yang seringkali diabaikan oleh orang-orang dewasa namun sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak, baik itu berupa perhatian, kasih sayang, maupun waktu.

Penonton Sekaligus Volunteer

JFF2019 merupakan kesempatan kedua bagi saya menjadi sukarelawan (volunteer) yang membantu penyelenggaraan festival film tersebut. Seperti tahun lalu, dalam hitungan hari sejak pengumuman dirilis, lebih dari 1000 orang mendaftarkan diri sebagai volunteer JFF2019 Bandung. Jumlah volunteer yang diterima juga bertambah dari yang sebelumnya hanya 16 orang, menjadi 22 orang pada tahun ini.

Kekuatiran sempat terbersit saat pertama mengetahui daftar film yang akan ditampilkan pada JFF2019. Jika pada tahun lalu terdapat film-film yang sudah lebih dulu mahsyur dan siap menjadi magnet massa, seperti Shoplifters (Hirokazu Koreeda, 2018) dan One Cut of The Dead (Shinichiro Ueda, 2017), serta Chihayafuru Part 3 (Norihiro Koizumi, 2018), kondisi agak berbeda terjadi tahun ini. Jumlah film animasi tahun ini pun tidak sebanyak tahun lalu. Namun, keraguan tersebut tidak terbukti. Antusiasime penonton festival tetap tinggi tetap banyak, dan secara pelaksanaan berjalan lebih baik dari tahun lalu. Hal ini tercermin dari salah satu “gimmick” yang diadakan pada JFF, yaitu melalui penukaran cap (stamp) yang bisa dikumpulkan menjadi tote bag ataupun T-Shirt resmi JFF2019. Di Jakarta sendiri, sekitar 200 tote bag berhasil diberikan kepada penonton yang rajin menonton dan menukarkan cap tersebut, demikian pula di kota-kota lainnya ―kecuali di Yogjakarta karena tidak ada penukaran cap―.

Dengan demikian, JFF2019 tetap berhasil menarik minat orang-orang untuk kembali hadir dan menonton film-film yang disajikan, baik itu dari komunitas film ataupun komunitas Jepang. Yang juga membuat saya takjub adalah beberapa volunteer yang bertugas di Jakarta pun menyempatkan diri untuk hadir di JFF2019 Bandung demi menonton film yang terlewat di sana. Ada sedikit penonton juga yang berasal dari Makassar untuk melanjutkan film yang terlewat di kotanya. Entah dalam rangka liburan ataupun bukan, antusiasme JFF2019 bisa dibilang sangat membanggakan. Lokasi info desk yang berada di tengah area CGV Cinemas juga berhasil menarik pengunjung mal untuk  ikut menonton film JFF2019.

Sebagai penggemar budaya Jepang, partisipasi saya pribadi pada JFF2018 memberikan kepuasan tersendiri. Saya berharap dapat menonton lebih banyak film yang memberikan kesan ataupun isu mengenai budaya yang ada di Jepang, dan hal itu terwujud pada JFF2019. Setidaknya dalam perspektif saya, unsur budaya film-film yang disajikan tahun ini lebih kental ketimbang tahun lalu.

Bekerjasama dalam kepanitiaan JFF (sebagai volunteer) juga merupakan hal yang menyenangkan, karena informasi yang diberikan terorganisir dengan baik secara mendetil sehingga tidak sulit untuk mengerjakan apa yang sudah dipercayakan selama memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab. Kekompakan tim yang solid juga menjadi nilai plus dan tidak berlebihan jika ini adalah nilai-nilai positif yang tertuang dalam etos kerja orang Jepang pada umumnya. Satu hal membanggakan lainnya adalah sebuah pengakuan terima kasih dari General Director Japan Foundation, Norihisa Tsukamoto yang selalu menyampaikan terima kasihnya kepada para volunteer terpilih karena menurutnya, kegiatan festival ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa andil mereka. Sebuah sambutan yang hangat sebelum para sukarelawan mengawali tugasnya.

JFF sudah berlangsung puluhan tahun di Australia, namun kehadirannya di Indonesia masih tergolong baru. Walaupun demikian, selama 4 tahun penyelenggaraannya, JFF menunjukkan perkembangan yang progresif dari tahun ke tahun. Japan Foundation sebagai penyelenggara pun berusaha untuk mendengarkan suara para peminatnya sehingga pada tahun 2019 ini mereka dapat memperluas kegiatan festivalnya di Surabaya. Pada tahun ini diselenggarakan pula lokakarya bagi para sineas muda yang ingin menimba ilmu dari para praktisi perfilman. Dengan kata lain, di masa yang akan datang akan semakin besar kemungkinan penambahan jumlah kota festival serta kegiatan lokakarya yang menyertainya.

Akhir kata, Japan Foundation sebagai tubuh utama yang hendak bergerak untuk menyebarkan budaya Jepang ke pelbagai tempat melalui film-filmnya akan menjadi kegiatan tahunan yang akan terus dinanti. Setiap film dengan segala nilai budayanya adalah buah pemikiran yang siap disantap oleh para peminatnya. Oleh karena itu, JFF2019 diharapkan akan terus menjadi kegiatan yang memperkenalkan serta merayakan kebudayaan menuju harmoni yang indah baik antara peminat budaya Jepang maupun peminat film pada umumnya.