Kapan lagi jentikan jari berarti menghilangkan setengah populasi makhluk hidup bumi? Atau angka 3000 berarti adalah sebuah ekspresi rasa cinta? Orang-orang pun ramai berswafoto dengan setengah gambar foto terurai berbentuk segitiga kecil-kecil untuk bercanda. Semua berkat rangkaian terakhir film Avengers yang dibagi menjadi 2 judul: Infinity War (2018) dan Endgame (2019)

Avenger: Endgame adalah akhir babak dari kisah Marvel Cinematic Universe (MCU) yang dimulai sejak film Iron Man (2008). Film yang berbujet US$ 356 juta ini digadang-gadang menjadi film terlaris menggantikan film Avatar (2009)[i]. Untuk pendapatan gross domestic Amerika Serikat, film ini sudah melampaui box office Avatar yaitu US$ 2,788 Milyar. Jika dihitung sejak Iron Man hingga Endgame, pendapatan layar lebar MCU saja sudah mencapai lebih dari US$ 18.5 Milyar.

Tidak ada satupun dalam rangkaian 22 cerita dari Iron Man hingga Avengers: Endgame yang mengalami kerugian. Pendapatan terkecil berbanding dengan dengan budget produksi adalah film The Incredible Hulk (2008)[ii] dengan perbandingan: US$137,5 juta : US$265,6 juta. Sedangkan pendapatan terbesar dipegang oleh Avengers: Endgame dengan estimasi budget US$ 356 juta berbanding pendapatan melebihi US$2,7 milyar.

The Walt Disney Company perusahaan konglomerasi raksasa yang bergerak di industri hiburan pada tahun 2009 berhasil membeli saham Marvel Enterprise. Sejak saat itu perusahaan Marvel dikendalikan bisnisnya oleh perusahaan yang berlambangkan tikus tersebut. Divisi perfilman perusahaan Marvel yang telah diakuisisi sekarang lebih dikenal dengan sebutan MCU.

Disney sebagai pemilik baru perusahaan Marvel tidak serta merta memiliki segala Intellectual Property (IP) yang dihasilkan oleh Marvel. Jauh sebelum film Iron Man, film X-Men (2000) sudah ditayangkan dibawah bendera distribusi 20th Century Fox, Spider-Man (2002) oleh Sony Pictures dan Hulk (2003) oleh Universal Pictures. Masing-masing film yang diadaptasi dari tokoh komik tersebut memiliki sekuel dan sukses dipasaran.

Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit Disney mampu mengumpulkan tokoh-tokoh komik yang hak ciptanya dimiliki studio film lain. Dimulai dengan membeli kepemilikan Marvel dan mengekploitasinya menjadi film layar lebar. Kemenangan pertama Disney adalah berhasil melanjutkan proyek ambisius Studio Marvel untuk membawa kisah Avengers ke layar lebar. Pada masa ini The Avengers (2012) bisa dibilang sebagai film pertama yang merupakan muara cerita dari 5 film Marvel sebelumnya yaitu Iron Man, The Incredible Hulk, Iron Man 2, Thor dan Captain America the First Avenger[iii].

Semenjak film Iron Man, Marvel sudah menawarkan sneak peek tentang kelanjutan cerita  yang merujuk pada kejadian lain di dunia MCU. Rencana pembentukan Avenger sudah mulai diperkenalkan dengan mendatangkan cameo tokoh Nick Fury di cuplikan after credit Iron Man. Lain lagi dengan cerita The Incredible Hulk (2008), pada akhir film ini, Tony Stark datang mengunjungi Jenderal Ross menawarkan kerja sama yang tentu saja merujuk pada The Avengers. Spider-Man sebagai tokoh tunggal dunia Marvel yang paling terkenal pun akhirnya berhasil masuk ke dalam MCU. Spider-Man diperkenalkan dalam MCU melalui film Captain America: Civil War (2016)[iv].

Dari 3 waralaba para jagoan marvel yang tercerai berai karena hak ciptanya dimiliki oleh perusahaan studio film lain, 20th Century Fox yang paling akhir bergabung dengan konglomerasi niaga Disney. Tidak tanggung-tanggung, akuisisi Disney meliputi semua aset dan keluarga 20th Century Fox seperti 21st Century Fox, Fox News, Fox Sport, Fox Network dll. Perjanjian ini ditutup dengan pembelian semua aset dengan harga US$ 71,3[v][vi] milyar.

Tidak pernah ada dalam sejarah perfilman yang begitu ambisius seperti yang dilakukan para pembuat film MCU. Mereka berhasil memindahkan film yang saling bersambung sejumlah 22 film ke ruang bioskop. Keberhasilan mereka tentu terukur dari jumlah profit yang diperoleh dari proyek raksasa dengan akumulasi modal terbesar sepanjang sejarah perfilman dunia.

Saat ini dengan kepemilikan mutlak, para penggemar MCU sangat mungkin untuk berharap crossover antara MCU dan seluruh universe X-Men. Beberapa pengamat film mengatakan bocoran hal tersebut sudah ditampilkan melalui trailer film Spider-Man: Far from Home. Musuh Spider-Man yang bernama Mysterio dalam trailer ini disebutkan hasil dari perpindahan universe lain.

Disney dan Monopoli Budaya Populer

Spoiler atau bocoran menjadi hal yang sakral bagi produsen film Endgame. Menurut rumor bahkan beberapa pemeran utama tidak diberikan naskah lengkap karena dikhawatirkan secara tidak sengaja membocorkan jalan cerita. Semenjak hari pertama film Avengers: Endgame diputar di bioskop seluruh dunia, saat itu pula ramai gerakan anti spoiler.

Kebocoran jalan cerita yang sudah ditunggu-tunggu penggemar, apalagi kalau sampai terjadi pembajakan, disinyalir publik akan mempengaruhi pendapatan Endgame. Namun, tidakkah di zaman banjir informasi, anggapan semacam itu terasa mensimplifikasi cara kerja budaya populer hari-hari ini? Kita juga bisa bertanya-tanya, seberapa besar kemungkinan orang batal menonton Endgame karena terlanjur terpapar spoiler?

Di saat bersamaan, gerakan anti spoiler menunjukkan upaya untuk memelihara eksklusivitas pengalaman penonton. Meski sudah membayar tiket dengan nominal yang sama seperti penonton lain, penonton yang sudah terkontaminasi spoiler tidak dapat memaksimalkan pengalamanan menontonnya.  Gerakan anti spoiler kemudian tidak cuma menguntungkan penonton, tetapi juga menyenangkan Disney. Melalui semacam publikasi gratis, penonton dibuat kian belingsatan karena begitu penasaran dengan “produk” fabrikasi Disney tersebut.

Sebaliknya, bukankah akan lebih mudah dan menguntungkan jika Disney dengan sengaja menyebarkan dan mengontrol jatuhnya remah-remah informasi? Ketika publik terpelatuk untuk berbicara dan saling berdebat, bukankah itu tetaplah publikasi yang menguntungkan Disney? Singkatnya, kapitalis Disney tidak pernah tidak diuntungkan.

Secara umum film populer memang tidak terlampau menitikberatkan narasi yang kuat, kritik keras pada berbagai isu, atau hal-hallain yang sering diasosiasikan dengan kualitas film festival. Layaknya letupan berondong jagung, film popcenderung bertumpu pada keseruan yang “menyergap urat saraf”.

Ketika membicarakan budaya pop, setidaknya kita perlu menyadari bahwa komik Marvel adalah salah satu penerbit komik superhero yang paling sukses di seluruh dunia[vii]. Para tokoh yang diangkat ke layar lebar ini sudah lebih dahulu terkenal sebagai tokoh jagoan di dunia komik. Pesaing utama dari tokoh-tokoh Marvel adalah tokoh komik dari penerbit DC. Superman, Batman, Aquaman, Wonder Woman, Flash dan lain-lain adalah tokoh andalah DC komik.

Membandingkan jumlah tokoh terkenal antara Marvel dan DC, tokoh-tokoh dari DC komik kurang akrab bagi masyarakat umum. Contohnya saja ketika film Suicide Squad (2016) ditayangkan, hampir tidak ada tokoh utama yang akrab bagi kalangan umum. Mungkin saja ada beberapa orang yang sudah mengetahui Harley Quinn tetapi jumlahnya relatif sedikit dan itu pun tidak terlepas dari perannya sebagai pasangan Joker.

Marvel memang lebih bisa mengorbitkan jagoannya sehingga lebih dikenal masyarakat luas. Kepiawaiannya ini terbukti bahkan secara vis-à-vis dengan pesaing terdekatnya. Tokoh paling populer dari Marvel yaitu Spider-man mengungguli Superman dari jumlah judul komik dan oplah penjualan. Keberhasilan Marvel juga terlihat di film layar lebar dibanding DC yang pada beberapa dekade terakhir hanya terus menerus menampilkan Superman dan Batman, 2 jagoan andalannya.

Internet sebagai penemuan tercanggih manusia dalam hal berkomunikasi telah merubah peran komik dalam budaya populer. Komik yang jaman dulu adalah satu-satunya sarana untuk mengikuti kisah para superhero tergantikan semenjak adanya internet. Pembajakan dalam dunia digital semakin hari semakin mudah sehingga perlahan membunuh industri yang mengandalkan penjualan komik.

Rupanya Disney sebagai garda terdepan industri budaya populer langsung menangkap sinyal-sinyal jaman dengan baik. Membeli perusahaan Marvel merupakan langkah awal konglomerasi raksasa ini merubah haluan bisnisnya. Disney juga sukses membeli hak cipta ikon budaya populer Star Wars yang dimiliki oleh Lucasfilm pada tahun 2012. Dengan harga US$ 4.05 milyar George Lucas sebagai founder Lucasfilm menjual perusahaannya yang dirintis sejak 1971 kepada Disney.

Sekali lagi keputusan membeli Star Wars adalah kemenangan bagi The Walt Disney Company. Pada tahun 2018, hanya dengan 4 pendapatan film Star Wars yaitu Force Awakens, Rogue One, The Last Jedi dan Solo, Disney telah balik modal dengan pendapatan box office lebih dari US$ 4,8 milyar. “Sebuah akuisisi paling pintar dalam sejarah” ujar Paul Dergarabedian analis senior dari perusahaan statistik media [viii]. Keuntungan ini belum dihitung dari waralaba game, serial TV, fashion, dan lain sebagainya.

Trendsetter

Ada beberapa pihak yang juga diuntungkan dari keberhasilan gemilang film MCU yang ditutup dengan film Avengers: Endgame. Para pemeran dalam film Marvel termasuk pihak yang diuntungkan secara materiil. Tentu saja semenjak menjadi bintang film yang memeran jagoan film Marvel, para aktor dan aktris ini menjadi terkenal di dunia dan jagat Internet. Memang ada beberapa pemeran yang sudah malang melintang di dunia perfilman seperti Gwyneth Paltrow, Anthony Hopkins, Cate Blanchett, mereka bahkan pemenang oscar.

Namun rasanya agak naif bila mengabaikan fakta bahwa aktor-aktris tersebut kian terdongkrak pamornya pasca berperan di film-film MCU. Robert Downey Jr tentu akan selamanya teringat sebagai pemeran Tony Stark atau Chris Evans dengan ototnya yang aduhai sebagai si lurus hati Steve Rogers, begitu juga Chris Hemsworth yang berperan sebagai wujud pria sempurna, dewa petir Norse. Begitu juga para aktor yang tiba-tiba terkenal dan sering dikaitkan dengan perannya di MCU seperti Pom Klementieff, Chadwick Boseman atau Benedict Wong.

Penyebaran berita dan pendapat melalui medsos dan internet jaman sekarang sudah sangat umum sehingga mudah dijangkau masyarakat luas. Hal tersebut agaknya mempengaruhi Disney untuk membuat film sesuai dengan keinginan pasar. Dalam rangkaian film MCU, ada film yang mengangkat superhero dari Afrika, Black Panther. Cerita Black Panther bercerita tentang negara Wakanda yang sangat maju namun tersembunyi berkat teknologi yang canggih, lengkap dengan struktur masyarakat modern sekaligus memiliki akar budaya asli.

Negara Wakanda digambarkan begitu modern hingga lebih mirip penggambaran film sci-fi daripada negara di Afrika. Seolah Disney mau menampilkan sebuah film yang hampir semua pemerannya kulit hitam dan sangat modern. Suatu bentuk ilustrasi utopis dari realitas Afrika. Begitu juga dengan cerita Captain Marvel, sebagai superhero terkuat dari jagat MCU Captain Marvel mengambil sosok perempuan yang berprofesi sebagai pilot. Film Spider-Man Homecoming yang juga sudah dimiliki oleh Disney juga mengubah stereotipe tiap tokoh utama di film dengan menampilkan berbagai macam ras, bukan didominasi oleh pemeran kulit putih.

Adegan dalam film Endgame pun banyak mengubah pandangan umum tentang superhero yang biasanya terdominasi oleh pria dengan tubuh ideal. Peran minoritas diangkat sebagai poin penting dalam cerita MCU dan Endgame. Taktik dagang seperti ini bukan tanpa alasan, karena Disney menyadari apa yang sedang ramai diperjuangkan oleh masyarakat. Thor tidak lagi berbadan tegak berotot, tetapi menjadi tambun dan kumal. Juga sekelompok superhero wanita menjadi faktor penentu untuk mengalahkan Thanos.

Walaupun berkesan bermoral dan mengusung keragaman, pada dasarnya Disney-lah yang paling banyak memperoleh keuntungan. Disney menjadi personifikasi dari budaya populer dengan memainkan idiom-idiom baru yang viral di internet. Budaya masyarakat sekarang mencapai tingkat tertinggi konsumerisme. Perkembangan e-commerce dan percepatan informasi yang hadir dalam berbagai bentuk memaksa kita untuk berinvestasi dalam berbagai benda yang bernilai emosional daripada fungsi.

Denis Diderot seorang filsuf Prancis mengingatkan bagaimana konsumerisme memaksa diri untuk menghabiskan uang untuk sesuatu yang sebenarnya tidak berfaedah sama sekali[ix]. Fenomena ketagihan terhadap materi karena keharusan mengikuti jaman ini dikenal dengan istilah “Diderot Effect”.  Para penonton film MCU mau tidak mau harus mengikuti secara lengkap rangkaian film-film ini. Bisa dibilang efek ini seperti narkoba yang memaksa konsumen untuk terus-menerus mengkonsumsi suatu produk.

Banyak orang yang menentang dan menanggapi gelombang produk dari perusahaan berlogo tikus ini dengan menolak untuk berpartisipasi secara utuh film Marvel. Tetapi bagaimana ketika dunia sedang hangat-hangatnya membahas tentang nasib Iron Man di film Endgame? Pada akhirnya kelompok yang tidak mengenyam produk populer ini akan tersingkir dari komunitas mainstream.

Disney telah mampu merubah cara pandang masyarakat tentang para pecandu komik superhero. Jika dulu mereka dianggap kelompok anak-anak culun, sekarang semua orang berlomba-lomba untuk mengambil peran baik secara sosial atau finansial dari dunia superhero. Dulu para cosplayer dianggap sebagai kelompok yang tersingkir secara sosial. Kini lihat saja para cosplayer yang tak kalah dengan popularitas dan visual ala super model.

The Walt Disney Company bukan lagi sekedar rumah produksi film kanak-kanak. Sebab perusahaan ini telah menjelma menjadi gurita dengan banyak lengan yang menjulur dan mencengkeram. Tentu saja para kritikus dan sineas high-brow cenderung memberi tanggapan nyinyir tentang Disney dan keserakahannya menghegemoni segala aspek.  Tak sedikit dari mereka yang merasa Disney telah menghancurkan makna berkarya dengan membuat film “sampah” seperti Endgame.

Tentu tidak dapat ditampik jika banyak sekali plot hole dari film Endgame. Tetapi siapa dari para pengkritik high-brow yang tidak berdecak kagum dengan animo publik yang berbondong-bondong pergi menonton? Tak terkecuali bioskop di Indonesia yang dengan sukarela beroperasi 24 jam pada hari-hari pertama penayangan Endgame. Disney yang berambisi mengalahkan Avatar sebagai film terlaris sepanjang masa, mencoba merilis ulang Endgame di Amerika Serikat pada 28 Juni 2019. Namun hasilnya kurang memuaskan karena hingga saat ini cuman berhasil menambah kurang dari US$ 10 juta. Para kritikus menyalahkan adegan yang ditambahkan masih terlalu mentah dan sedikit, tidak ada perubahan yang berarti. Dan kini jelang perilisan ulang Endgamepada 12 Juli 2019 di Indonesia, kita bisa mulai menduga-duga, akankah kali ini tiket kembali ludes terjual?

Sumber Terkait:

[i] https://www.boxofficemojo.com/movies/?id=avatar.htm

[ii] https://www.the-numbers.com/movies/franchise/Marvel-Cinematic-Universe#tab=summary

[iii] Era ini lebih dikenal sebagai phase one oleh para fans MCU

[iv] Film ini adalah awal dari phase three yang berujung pada Endgame. Keseluruhan 22 cerita ini dinamai Infinity Saga oleh produser sekaligus direktur Marvel Studio, Kevin Feige

[v] https://www.npr.org/2019/03/20/705009029/disney-officially-owns-21st-century-fox

[vi] https://www.thewaltdisneycompany.com/disney-and-21st-century-fox-announce-per-share-value-in-connection-with-71-billion-acquisition/

[vii] Caputo, Tony S (1997) How To Self-Publish Your Own Comic Book. Watson-Guptill Publications. New York Hlm 11: diterangkan bahwa Marvel menguasai distribusi komik di Amerika. Hingga saat ini walaupun bergerak dinamis, Marvel masih menjadi penerbit terbesar komik.

[viii] https://www.cnbc.com/2018/10/30/six-years-after-buying-lucasfilm-disney-has-recouped-its-investment.html

[ix] Diderot, Denis (1875) first pub 1772 Regrets on Parting with My Old Dressing Gown. Oeuvres Complètes, Vol IV. Garnier Fréres, Paris.