Bila sewaktu kecil kalian pernah bercita-cita menjadi seorang astronot: membayangkan serunya pergi ke luar bumi menyebrangi galaksi –bukan Bekasi, dan menaiki roket untuk pergi jauh ke Bulan, Pluto, dan planet-planet lainya. Cita-cita kalian dapat terwujud melalui film MARS (Do Not Pee Randomly).

Beberapa tahun mendatang manusia diramalkan akan berbondong-bondong pindah ke Mars di tahun 2040-an. Sang sutradara, Muhammad Marhawi membawa isu tersebut ke dalam film pendeknya, MARS (Do Not Pee Randomly). Baginya, isu tersebut masih jarang sekali dilirik para pembuat film, khususnya di Indonesia.

MARS (Do Not Pee Randomly) menceritakan seorang anak laki-laki beseran (buang air kecil terus-menerus) bernama Ipul. Dia suka banget sama pelajaran sains. Suatu hari, sekolahnya mengadakan kunjungan ke Planet Mars. Setelah mendapatkan izin obunya, Ipul pun ikut dalam kunjungan tersebut. Kemudian berangkatlah Ipul dan teman-temannya dengan menggunakan bus APDG (Antar Planet Dalam Galaksi). Sesampainya di Mars, Ipul dan saingannya di kelas, Sofia memulai perjalanan pertama mereka di Mars. Namun tiba-tiba Ipul kebelet pipis. Ia pun pipis sembarangan di Mars yang membuatnya ia diculik alien-alien penunggu planet Mars.

Sebagai seseorang yang otaknya telah diracuni oleh gambaran masa depan serial Black Mirror, gue cukup tercengang ketika menonton film ini. Bagi kalian yang sebelas-duabelas dengan gue, kalian salah besar. Bisa jadi masa depan di bagian bumi sebelah sana memang seperti apa yang digambarkan film Hollywood atawa serial Netflix. Namun, gak ada yang tahu bagaimana masa depan di bagian bumi yang pas banget dilalui garis khatulistiwa alias Indonesia ini ‘kan?

Black Mirror mengemas masa depan melalui penggunaan alat-alat penyokong kemudahan hidup oleh masyarakat urban. Rumah-rumah minimalis nan canggih (buka pintu menggunakan password/face id) yang bertebaran di setiap sudut kota. Dan kendaraan-kendaraan mewah mengkilap yang bahkan tidak perlu ada supirnya. Bagaikan bumi dan langit, film MARS (Do Not Pee Randomly) mengemas masa depan dengan kemasan yang berbeda.

Layaknya Bumi dan Mars, yang katanya mirip tapi beda. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dalam film MARS (Do Not Pee Randomly) justru disajikan sangat berbeda dengan apa yang disajikan oleh Black Mirror. Jika dilihat dari pemilihan latar tempatnya. Mars menggunakan latar tempat yang cenderung jauh dari pusat kota. Lengkap dengan sawahnya, warungnya, bus a la metromininya, dan arsitektur rumah sederhananya (buka pintu menggunakan kunci). Gue yang sudah ditanami gambaran masa depan Hollywood sempat tidak percaya dengan apa yang gue lihat, karena selama ini kemajuan dan kecanggihan teknologi sering kali direpresentasikan oleh kehidupan perkotaan yang ramai, sibuk, dan lebih maju dari daerah pinggiran (pedesaan).

Adegan-adegan dalam film MARS (Do Not Pee Randomly) cenderung mematahkan kesan futuristik yang ditawarkan dalam serial Black Mirror. Hanya di film ini robot dapat merasakan membeli mie instan di warung sembako. Jika biasanya roket digunakan sebagai transportasi antargalaksi, dalam film ini ada APDG (Antar Planet Dalam Galaksi) yang siap menemani perjalanan galaksi. Bentuknya mirip dengan metromini (tenang pintu dan jendelanya tertutup) yang tentunya dilengkapi dengan klakson, “om telololet om”.

Penggunaan bahasa daerah dan musik dangdut yang sangat futuristik (ada unsur efek elektronik-nya gitu) di dalam film ini pun menambah kesan kearifan lokal. Bahkan membuat gue sempat membayangkan Indonesia di ‘masa depan’ dengan versinya sendiri. Unsur-unsur ke-jogja-an juga banyak di tampilkan di film ini. Di satu sisi dapat membuat beberapa orang gagal paham, tetapi di sisi lain dapat membuat orang lain sangat related dengan fenomena yang ditampilkan, seperti suara knalpot balapan yang menjadi suara UFO lewat.

Anehnya di dalam kemasan yang begitu sederhana dan tradisional, bentuk sekolah yang dihadirkan di dalam film ini dapat dibilang cukup besar dan modern. Unsur tersebut justru dapat menjauhkan kesan setting ‘masa depan’ di pedesaan itu sendiri. Mungkin itu adalah sebuah usaha agar cerita di film ini masuk akal, karena seperti yang kita ketahui bahwa pendikan dan institusinya merupakan sebuah ukuran kemajuan bangsa. Oleh karena itu, citra sekolah modern tersebut dibuat agar tercipta sebuah jembatan penghubung antara kemajuan teknologi (dalam hal ini penggunaan alat-alat canggih)  dengan masyarakat pedesaan itu sendiri.

Namun film ini sedikit keluar dari orbitnya. Kesan unik akan sebuah ‘masa depan’ yang bisa dirasakan oleh segala pihak harus terbentur dengan candaan di dalam film ini. Terlalu terlena dalam penyuguhan cara bercandanya, akhirnya membuat film ini melupakan unsur-unsur realistik yang harusnya dapat lebih diperhatikan. Di dalam film The Martian saja, mas-mas astronot harus membuat rumah-rumahan canggih untuk bertahan hidup dan menghasilkan makanan. Ajaibnya, abang gudeg dalam film MARS dapat bertahan hidup dengan hanya berjualan gudeg kepada para pelanggan setianya si alien-alien yang menculik Ipul.

Pada akhirnya, cerita Ipul pergi ke Mars membawakan pesan unik tersendiri dari mitos yang diangkat –pipis sembarangan. Melalui APDG-nya film MARS (Do Not Pee Randomly) berhasil mengantarkan kita ke Mars dan membuktikan bahwa di Mars masih ada nilai dan norma yang berlaku sehingga perlu dihargai dan dihormati.