Hujan turun pada malam 26 Januari di Bandung, sesaat sebelum Lokasinema akan dimulai. Namun cuaca tidak menyurutkan niat orang-orang menonton kumpulan film Makbul Mubarak yang terdiri dari Sugih, Irasaimase, Serpong, dan Ruah.
Suasana pemutaran berjalan asik: tawa terdengar di antara guyonan-guyonan yang disajikan film. Yang menarik, tawa ini menjadi sebuah fenomena yang diintrospeksi secara mendalam pada sesi diskusi. Dimoderatori oleh Roufy Nasution dan ditanggapi oleh Bihar Jafarian dan Irvan Aulia, diskusi dimulai dengan pernyataan menohok bahwa menertawakan tokoh-tokoh dalam film Makbul—terutama Irasaimase dan Serpong—adalah tindakan yang kurang peka. Kenapa ditertawakan? Bukankah ini film-film yang memotret realitas ketidakadilan?
Bisa jadi, hal ini dikarenakan adanya ketimpangan kelas antara tokoh-tokoh dalam film dengan penonton-penonton Lokasinema. Menonton tokoh-tokoh yang sedang frustrasi akibat kurang uang (Sugih), teralienasi komando-komando atasan (Irasaimase), dan kesulitan buang air besar (Serpong) menjadi jukstaposisi yang nyata terasa ketika dibandingkan dengan kondisi menonton yang nyaman di sebuah kafe kelas menengah. Tawa-tawa yang muncul ini seolah adalah bentuk superioritas penonton atas tokoh-tokoh tersebut. Hal ini tentu menjadi sebuah tamparan keras, mengingat hal-hal yang ditertawakan tersebut sesungguhnya terjadi juga di dunia nyata.
Penulis sendiri pernah diceritakan oleh seorang supir angkot tentang terlalu melelahkannya menarik angkot seharian, sehingga rasanya lebih masuk akal untuk belajar ilmu hitam saja. Kondisi ini mirip dengan apa yang terjadi oleh Ahmat dan Sugih dalam film Sugih.
Ahmat yang sedang sholat dipukul berulang kali. Tidak lama setelah itu, uang bertaburan dari langit-langit rumah. Hal ini menjadi pemaknaan harafiah atas sebuah hadis Islam yang mengatakan bahwa doa orang-orang yang teraniaya akan langsung dikabulkan. Padahal, kenyataannya tidak akan semudah itu untuk mendapatkan uang. Minimal, akan ada campur tangan pihak lain yang berperan sebagai pemberi uang. Maka dari itu, secara realita cara seperti ini lebih familiar disebut sebagai pesugihan: meminta kepada makhlus halus (jin), daripada meminta kepada Tuhan.
Paradoks antara pesugihan dan beribadah secara agamis ditampilkan secara piawai: pandangan umum masyarakat akan menyebut hal yang dilakukan Sugih dan Ahmat sebagai pesugihan, tetapi di sisi lain caranya sendiri sesuai dengan ajaran hadis. Dari sini terlihat bagaimana makna dari suatu ayat atau doa dapat dipelintir sedemikian rupa, tapi orang-orang akan tetap mengamininya.
Pemelintiran makna ibadah ini kemudian juga disinggung dalam film Ruah: Haji Halim yang sering bersedekah memandang poligami sebagai suatu bentuk ibadah. Namun, di sisi lain ia sering memandangi perempuan dengan penuh nafsu. Ia bahkan menampik ketidaksetujuan istrinya dengan alasan keibadahan yang tautologis. Haji Halim sebagai seorang pemuka agama akhirnya lebih terlihat sebagai sosok oportunis yang menyelewengkan makna poligami.
Melalui film-filmnya, Makbul seperti ingin mengkritik niat tidak tulus orang-orang dalam beribadah. Seringkali ibadah sengaja disalahartikan, bergantung keinginan dan kepentingan orang-orang. Kalau begitu, bukankah ibadah menjadi sesuatu yang bersifat transaksional?
Definisi “niat tulus” sendiri sesungguhnya sulit untuk diukur sehingga terasa mengawang-awang. Oleh karena itu, Makbul menciptakan semesta yang mengawang-awang pula dalam filmnya. Dalam Sugih, hal-hal yang dialami Ahmat dan Sugih awalnya terkesan guyon belaka, sehingga tidak digubris secara serius oleh penonton.
Namun, hal ini diyakinkan kembali lewat sebuah montase yang cepat dan tidak beraturan: percakapan antara Ahmat dan Sugih yang ingin memiliki mobil ditiban dengan shot mereka sudah berada di dalam mobil, petunjuk bahwa doa mereka berhasil dikabulkan (atau tidak?). Kita seolah dibuat percaya bahwa usaha mereka yang absurd sesungguhnya tidak sebegitunya absurd.
Dapat diperhatikan juga bagaimana Haji Halim akhirnya mendapatkan hukuman dari Nyi Roro Kidul. Melalui tulisan “Titipan Ilahi” di truk yang dikendarai Nyi Roro Kidul, sosok ini menjadi makhluk yang berkuasa dan seakan sengaja diutus Tuhan. Hal ini menjadi sebuah paradoks dalam kerangka pikir agama Islam yang seringkali mempersepsikan Tuhan maupun utusan-utusannya sebagai laki-laki, dan menganggap musyrik orang-orang yang memercayai Nyi Roro Kidul.
Apabila dalam Sugih dan Ruah terdapat kecenderungan untuk mengkritik tokoh-tokohnya itu sendiri, film-film Makbul yang lain lebih memperlihatkan perlawanan tokoh-tokohnya terhadap suatu kondisi. Dalam Irasaimase, sang tokoh utama mengekspresikan kesulitannya belajar bahasa Jepang. Toh tuntutan untuk bisa berbahasa Jepang ini tidak diwadahi dengan fasilitas yang memadai oleh restoran tempatnya bekerja.
Bentuk protes sang tokoh utama lagi-lagi tertangkap dalam dunia awang-awang: sang tokoh melawan dengan cara mengigau dalam tidurnya. Me skipun bentuk perlawanannya terkesan tidak konkrit, tetapi setidaknya ia telah melawan sejak dalam pikiran. Bukankah ini seminimal-minimalnya yang dapat dilakukan?
Bentuk perlawanan paling pamungkas datang dari pasangan dalam film Serpong. Mengetahui area buang hajat mereka diblokir karena ada pembangunan perumahan, mereka menggunakan AEON mall untuk membuang hajat secara gratis.
Megahnya AEON mall terlihat kontras dengan kondisi kehidupan warga asli sekitarnya. Pola masif pembangunan mall-mall yang menjamur dan merembet sampai luar kota [1] hanya mampu mewadahi ruang konsumsi dan produksi untuk kelas menengah atas yang sudah mapan. Alih-alih iri dan terbawa arus konsumerisme, pasangan dalam film ini justru memanfaatkan kesempatan buang hajat gratis tersebut untuk memberikan sebuah pernyataan: bahwa ruang publik tidak seharusnya diperjualbelikan!
Film-film Makbul memberikan sebuah perspektif lain dalam merespon situasi kelas menengah bawah yang pelik. Situasi yang sulit memang bukan untuk diterima begitu saja, tetapi juga tidak harus diratapi dengan tangisan termehek-mehek. Tidak seperti kerangka pikir developmentalisme, kemiskinan juga tidak harus dipersepsi sebagai sebuah kegagalan dalam menjadi manusia. Menyadari bahwa kondisi yang menimpa kita adalah hasil kuasa-kuasa jahanam yang sering merusak akal sehat juga tidak kalah penting. Tertawalah dahulu, minimal sebagai obat penawar sementara. Namun jangan lupa melawan setelahnya!
Tulisan ini juga dimuat di infoscreening.co