Dalam esai mahsyur The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction yang terbit pada 1936, Walter Benjamin mengatakan bahwa film memiliki daya untuk memobilisasi massa, mempromosikan kekritisan terkait kondisi sosial, serta memampukan manusia menyadari aspek kehidupan yang sebelumnya luput. Perkataan Benjamin lebih dari delapan puluh tahun lalu tersebut masih tetap relevan hingga saat ini. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan film-film nomine Oscars 2018, khususnya film-film pada kategori Best Picture. Sebagaimana gaun-gaun hitam yang mendominasi Golden Globe ke-75 Januari lalu sebagai bentuk solidaritas kepada korban kekerasan seksual di Hollywood, Academy Awards juga tidak hanya sekedar perhelatan meriah dunia perfilman. Ajang Academy Awards menjadi arena untuk menyuarakan berbagai  kegelisahan  terkait  persoalan  global  hari-hari  ini.  Dalam  penyelenggaraan  Academy  Awards beberapa tahun terakhir, kemenangan 12 Years of Slave, Spotlight, dan Moonlight menjadi petunjuk bahwa Best Picture bukan hanya semata perkara pencapaian sinematik.

Secara kebetulan, film nomine Best Picture Oscars kompak menampilan kisah yang berkelindan dengan peristiwa riil yang terjadi di masa lalu, terutama terkait perang dan diskriminasi. Dalam daftar nomine tidak ada lagi kisah futuristik atau post-apocalyptic dystopia semacam Gravity, The Martian, dan Mad Max. Dunkirk dan Darkest Hour mengisahkan era Perang Dunia II. Phantom Thread memotret kehidupan sosial warga kelas atas Inggris pasca Perang Dunia II. The Shape of Water dan The Post mengisahkan Amerika Serikat pada era perang dingin dan pasca perang Vietnam. Call Me by Your Name yang berlatar tahun 1983 mencoba mengaitkan konstruksi maskulinitas dengan penelitian arkeologi dan peristiwa Perang Dunia I. Lady Bird menjadikan peristiwa penyerangan pada World Trade Center 11 September 2002 sebagai titik tolak persoalan yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Meski Three Billboards Outside Ebbing, Missiouri dan Get Out menghadirkan latar waktu penceritaan yang lebih kekinian ketimbang film-film lain, keduanya bertolak dari berbagai insiden kekerasan yang dilakukan warga kulit putih dan aparat kepada warga kulit hitam.

Meski berkisah mengenai masa lalu, kisah yang dihadirkan oleh film-film itu justru terasa sangat relevan dan aktual dengan kondisi dunia saat ini. Jika ungkapan yang mengatakan bahwa karya yang hebat lahir pada masa- masa krisis memang benar, maka kita dapat berbaik ―atau berburuk― sangka bahwa sosok dan kebijakan Donald Trump mempengaruhi kisah-kisah yang muncul pada film nomine. Film The Post (Steven Spielberg) misalnya, menjadi manifestasi kegelisahan Spielberg pada rezim Trump. Steven Spielberg mengaitkan kondisi yang terjadi pada era presiden Richard Nixon dengan Trump.

Mayoritas film nomine Best Picture menunjukkan kecendrungan yang serupa yakni nuansa muram, gelap, dan satir. Ekspresi ketakutan, kemarahan, kesedihan, kebingungan, kepanikan, dan keputusasaan bagaikan menyergap penonton.

Manusia Modern Terstandar

Sejak Pencerahan, yang kemudian dilanjutkan dengan era modern, dunia Barat memberikan penekanan pada rasionalitas manusia dan kemajuan (orientasi pada masa depan). Sejak saat itu, sains dan teknologi mengalami perkembangan pesat, dan dipercaya akan mengantarkan manusia pada kehidupan dunia yang lebih baik. Ironisnya, Perang Dunia I dan II, sebagaimana yang ditampilkan dalam film Dunkirk dan Darkest Hour, adalah bukti bagaimana ide yang dibangga-banggakan oleh paradigma modern Barat justru berbalik mencelakakan manusia. Obsesi pada rasionalitas secara paradoksal justru menunjukkan irasionalitas manusia. Di lain pihak, modernitas juga tidak dapat dilepaskan dari ide maskulinitas modern.

Dalam The Image of Man: The Creation of Modern Masculinity, George Mosse mengatakan bahwa maskulinitas memainkan peranan penting dalam terjadinya revolusi, perang, nasionalisme, hingga chauvinisme. Kondisi tersebut mengindikasikan dua prinsip. Pertama, karena maskulinitas bekerja dalam kerangka pikir totalitas. Kedua, karena maskulinitas bekerja dengan menciptakan oposisi biner antara stereotipe dan countertype; the self atau the other (liyan). Stereotipe maskulin dipelihara untuk melanggengkan the self atau konsep diri yang ideal. Maskulinitas ideal laki-laki direkatkan dengan sifat-sifat seperti rasional, bertujuan, kuasa dan kontrol, agresif-superior, tidak ragu, serta pemelihara sekaligus pembaharu tradisi/order.

Kedua prinsip tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Friedrich Hegel yang meyakini bahwa realitas hadir sebagai sebuah kesatuan total: rasio menjadi proses sekaligus tujuan. Bagi Hegel, perang adalah sesuatu yang rasional, dan perlu dilalui untuk mencapai kebebasan. Akibatnya, pemikiran Hegel berkelindan dengan modernitas dan maskulinitas modern, serta melahirkan ide universalitas bahkan totalitarianisme.

Pada revolusi Perancis misalnya, persaudaraan (fraternity) menjadi jargon penting untuk membakar semangat juang rakyat (baca: laki-laki) untuk membangun tatanan masyarakat yang baru. Demikian halnya dengan chauvinisme Nazi, uberman ras Arya menjadi pelecut bagi Jerman yang tengah mengalami kondisi terpuruk

─sebagaimana yang diteliti oleh psikoanalis Erik Erikson─. Maskulinitas, dengan demikian, menjadi perekat “mental kawanan” guna menggalang kekuatan atau melakukan konsolidasi internal pada kubu maskulin. Judith Halberstam mengatakan bahwa maskulinitas membutuhkan pihak kontra atau “musuh” untuk semakin menegaskan kediriannya, itulah mengapa ia menciptakan countertype. Perkataan Halberstam secara tidak langsung menegaskan bahwa pola pikir biner adalah sesuatu yang diam-diam dilakukan oleh maskulinitas.

Countertype tidak hanya mengacu pada perempuan, melainkan juga pada laki-laki yang dianggap kurang atau bukan “laki-laki”. Dalam film Call Me by Your Name, Lady Bird, dan The Shape of Water, kehadiran karakter homoseksual menjadi representasi dari kondisi ini. Para tokoh laki-laki dalam ketiga film tersebut mengalami kegamangan karena menganggap dirinya gagal mewarisi maskulinitas, serta takut mendapatkan penolakan. Penerimaan terhadap kedirian mereka justru hadir dari sesama penanggung countertype, yakni perempuan: manusia yang dianggap sebagai makhluk kelas dua dan tidak rasional.

Dalam salah satu adegan The Shape of Water, tokoh Colonel Richard Strickland (Michael Shannon) mengatakan bahwa Zelda Delilah (Octavia Spencer) ―seorang perempuan kulit hitam― adalah seseorang yang “kurang manusia”. Dalam adegan lainnya, Strickland menertawakan keyakinan penduduk Amazon karena menyembah sang sosok amfibi, menunjukkan superioritasnya melalui alat penyetrum dan mobil mewahnya, serta melecehkan pekerja perempuan, Elisa Esposito (Sally Hawkins). Strickland adalah representasi yang tepat dari ide maskulinitas. Sementara itu karakter ilmuwan Dr. Robert Hoffstetler dalam The Shape of Water seolah- olah mengafirmasi bahwa sains sebenarnya tidak pernah benar-benar bebas nilai. Penggambaran sosok Elisa sebagai penyandang tuna wicara menjadi personifikasi perempuan yang dianggap lebih baik tidak “bersuara”. Menariknya, The Shape of Water menggambarkan hanya ada tiga sosok yang benar-benar menerima Elisa: perempuan kulit hitam (Zelda Delilah), laki-laki homoseksual (Giles), serta sosok yang disebut sebagai “aset” oleh laboratorium rahasia milik pemerintah, atau singkatnya: entitas bukan manusia.

Diskriminasi terhadap perempuan terjadi pula pada sosok perempuan kelas atas dalam The Post. Katharine Graham (Meryl Streep) adalah pemilik dari koran Washington Post, namun orang-orang di sekitarnya, yang notabene-nya adalah laki-laki, cenderung untuk meremehkan dan menekannya. Sebagai seorang perempuan, ia dianggap tidak semumpuni mendiang ayah dan suaminya.

Lady Bird memotret relasi antara laki-laki dan perempuan dengan cara yang menarik. Hidup Christine “Lady Bird” McPherson (Saoirse Ronan) dikelilingi oleh bermacam variasi laki-laki: laki-laki yang kehilangan pekerjaan, laki-laki lulusan universitas ternama yang “hanya” bekerja sebagai kasir pasar swalayan, laki-laki yang dianggap gagal mewariskan maskulinitas karena homoseksualitasnya, dan laki-laki tipikal alpha male.

Pemujaan pada sesuatu acap kali hadir bersamaan dengan obsesi untuk menguasainya. Demikianlah cara Phantom Thread menggambarkan kehidupan para perempuan kelas atas di London pasca Perang Dunia II. Perempuan-perempuan itu dituntut mesti tampil sempurna: Tubuh yang dikekang oleh korset ketat, gerak- gerik yang dibatasi oleh gaun indah yang membebat tubuh, langkah kaki yang diberati oleh sepatu berhak tinggi, serta elegansi dan kepatuhan yang diatur oleh serangkaian etiket dan norma. Perempuan adalah maneken! Seolah-olah kecantikan adalah asal dan tujuan hidupnya. Sementara itu, sosok laki-laki kuat dan hebat yang mendesain segala pakaian mewah itu sebenarnya adalah pribadi yang rapuh. Persis seperti itulah bagaimana dunia modern dan ide maskulinitas sebenarnya tidak hanya mendiskriminasi perempuan, melainkan juga menekan laki-laki sendiri.

Rasisme juga lahir dari pemikiran bahwa ada manusia yang ideal/sejati atau “manusia yang semestinya”. Ironisnya tolok ukur keidealan sudah disiapkan oleh konstruksi maskulinitas: laki-laki kulit putih. Manusia lain, seperti perempuan dan/atau orang kulit berwarna, dengan demikian dianggap bukan manusia sejati. Sains bahkan diperalat untuk membuat seolah-olah rasialisme adalah sesuatu yang saintifik, yakni dengan membuat klasifikasi  dan  peringkat manusia. Kesemuanya  itu kemudian menjadi  rasionalisasi  dan legitimasi  untuk melakukan diskriminasi dan eksploitasi.

Dalam Race: Are We So Different? (2012) disebutkan bahwa Thomas Jefferson, presiden Amerika Serikat ke-3 yang mahsyur dengan Declaration of Independence-nya, justru secara ironis menyatakan keraguannya bahwa orang kulit hitam adalah “manusia”. Dari contoh kasus Thomas Jefferson ini, kita dapat melihat bahwa ide mengenai humanisme universal, pada praktiknya tidaklah universal. Dalam kerangka pikir totalitas, the self adalah acuan bagi universalitas. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kemerdekaan seolah hanya milik laki-laki kulit putih; sedangkan di luar itu bahkan tidak termasuk dalam “pihak yang perlu dibicarakan”.

Film Get Out dan Three Billboards Outside Ebbing, Missouri memilih untuk membicarakan rasisme melalui cara bertutur yang satir dan sarkas. Melalui penceritaan yang bernuansa horor, Get Out berupaya memprotes bagaimana warga kulit hitam dipaksa menjadi warga kulit putih. Warga kulit hitam menjadi sosok liyan yang dipaksa menjadi the self. Oleh karena itu, meski tidak ada yang berubah dari fisik warga kulit hitam, rasisme telah membuat mental dan identitas kediriannya tidak sama lagi.

Sementara itu, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri tidak hanya menunjukkan kemarahan dan rasa frustrasi akibat kekerasan dan pelecehan kepada perempuan ―baik yang terjadi di Missouri, atau dengan kata lain, AS, mau pun yang terjadi di luar AS―, melainkan juga menyindir insiden kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian kepada warga kulit hitam yang terjadi di Amerika Serikat pada 2016 lalu.

George Mosse mengatakan bahwa modernitas dan ide totalitas menyeragamkan laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai sebuah kesatuan, akibatnya laki-laki menjadi anonim karena keunikannya sebagai manusia dianulir. Oleh sebab itu, laki-laki mesti berada dalam kumpulan/gerombolan laki-laki untuk membentuk identitasnya. Pemikiran Mosse ditampilkan secara gamblang oleh film Dunkirk. Misalnya pada adegan yang menunjukkan barisan panjang pasukan tentara di tepi pantai. Sebagai suatu gerombolan, para tentara dalam Dunkirk hanya dapat diidentifikasi sebagai tentara Inggris atau tentara musuh. Sebagaimana adegan menguburkan mayat tentara dalam pasir, demikian pula individu tentara dalam Dunkirk yang anonim dan dengan mudah dipertukarkan atributnya identitasnya.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Dalam salah satu adegan Three Billboards Outside Ebbing, Missouri, tokoh Mildred Hayes (Frances McDormand) mengatakan kepada Pastur (Nick Searcy) bahwa pada era tahun 80an, pemerintah mengeluarkan aturan untuk menertibkan geng/gerombolan jalanan di Los Angeles: seluruh anggota geng akan dihukum jika ada salah satu anggota geng yang melakukan kejahatan. Apa yang dikatakan oleh Mildred Hayes menjadi suatu titik tolak yang penting. Dalam persoalan kemanusiaan, ketidaktahuan ―dapat juga dikaitkan

dengan kenaifan― dan sikap berpura-pura tidak tahu adalah suatu kejahatan. Kita, sebagai sesama manusia, mesti bertanggung jawab.

Senada dengan Mildred Hayes, sikap Winston Churchill (Gary Oldman) dalam Darkest Hour menunjukkan bahwa bernegosiasi dan mengalah pada pihak yang melakukan tindakan tidak memanusiakan manusia adalah sebuah bentuk kekeliruan. Kondisi ketiadaan perang tidak serta-merta berarti kedamaian. Oleh karena itu, kita tidak seharusnya diam mengalah kepada pihak yang sudah mencederai kemanusiaan hanya demi mengejar ketenteraman semu.

Tentu saja berbagai persoalan yang ditimbulkan paradigma modern Barat, patriarki, dan rasialisme bukan hanya persoalan yang terjadi di Amerika sana. Persoalan ini adalah persoalan global yang menuntut tanggung jawab semua manusia, tidak terkecuali manusia Indonesia. Hari-hari ini misalnya, pola pikir biner, konflik terkait SARA, kasus kekerasan, serta diskriminasi dan pelecehan kepada perempuan dan kaum LGBT, marak terjadi di Indonesia. Sementara untuk tataran global, setiap hari kita dihujani dengan berita mengenai berbagai konflik, tidak terkecuali konflik bersenjata yang terjadi di berbagai belahan dunia, serta persoalan pengungsi dan imigran.

Sebagai warga dunia, kita ditantang untuk memperjuangkan humanisme, tanpa terjatuh pada humanisme (yang diklaim) universal namun (sebenarnya) sempit seperti yang terjadi di masa lampau. Ada dua hal yang bisa kita catat. Pertama, kemanusiaan selalu terkait dengan konteks ruang waktu, dan tidak dapat diseragamkan. Sebagai contoh, saat sebagian perempuan berjuang untuk keluar dari kungkungan ranah domestik agar dapat berkarier setara dengan laki-laki, kondisi perempuan Papua yang mesti mengurus rumah tangga, bekerja di ladang, menjual hasil bumi, dan menjadi pencari nafkah dalam keluarga, tentu tidak dapat mentah-mentah kita asosiasikan dengan pencapaian kesetaraan dan emansipasi perempuan. Kedua, realitas adalah sesuatu yang kompleks. Oleh karena itu, pola pikir biner dan stereotipikasi hanyalah bentuk mengerdilkan realitas. Misalnya ketika seseorang menganggap kelompoknya selalu benar, dan menganggap orang-orang di luar kelompoknya pasti buruk dan salah.

Lebih lanjut, tanggung jawab itu bukan hanya ditujukan kepada sesama manusia, melainkan juga kepada bumi ini. Dalam adegan-adegan Dunkirk, kita bisa melihat bagaimana alam terpaksa turut menanggung keponggahan dan keserakahan manusia, misalnya dalam adegan tumpahan oli dan kebakaran kapal di laut. Paradigma modernitas yang menjadikan manusia sebagai tolok ukur segala hal, nampaknya sudah tidak lagi relevan. Manusia lain dan entitas lain di alam semesta ini bukanlah ―meminjam istilah dalam The Shape of Water― “aset” yang dapat dipergunakan semena-mena sekadar demi memenuhi keuntungan kita.

Pada titik ini, rasanya apa yang disampaikan oleh Alma Elson (Vicky Krieps) kepada Reynolds Woodcock (Daniel Day-Lewis) dalam Phantom Thread benar. Tidak mengapa kita tidak selalu kuat dan hebat, lagi pula mengapa manusia mesti selalu rasional dan memaksakan diri untuk berpenampilan sempurna? Saya teringat perkataan dari David Hume bahwa rasio adalah budak nafsu. Akan lebih baik jika kita menerima kedirian kita sebagai manusia yang memang memiliki aspek irasionalitas dan nafsu untuk mengusai pihak lain, serta memiliki masa lalu. Dengan begitu, kita akan bisa senantiasa mawas diri dan bersikap lebih bertanggung jawab sebagai manusia.

Kesembilan film nomine Best Picture sudah mengajak kita untuk merefleksikan banyak hal, sekaligus pula menyindir kehidupan kemanusiaan kita. Jika kita masih terus saja melakukan kekeliruan yang sama di masa depan, bukankah sebagai makhluk yang mengklaim dirinya rasional, kita sebenarnya sudah bersikap lebih buruk dari keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali?

*Tulisan ini pertama kali dipublikasi oleh Jurnal Ruang pada Februari 2018