Film Joker yang diperankan Joaquin Phoenix adalah film yang unik. Film ini mengangkat cerita dari dunia superhero dengan cara bertutur yang nyeleneh, sekaligus juga memicu kontroversi bagi para penggemar film superhero maupun film “serius”. Film Joker digadang-gadang bakal sensasional bahkan sebelum film ini tayang untuk umum. Respon positif sedari pemilihan Joaquin Phoenix sebagai tokoh Joker, hingga memenangkan film terbaik dan diganjar Golden Lion di Venice Film Festival 76th (2019).
Film superhero memang terlanjur identik dengan budaya pop yang remeh temeh. Namun Joker berhasil menunjukkan bahwa dirinya layak diapresiasi pada level festival film papan atas dunia. Memang bukan suatu kejadian yang terlalu baru. Sebab di tahun ini pun film Black Panther mampu menyabet tiga Oscar sekaligus (desain kostum terbaik, musik latar dan tata artistik). Adapun Heath Ledger yang memerankan tokoh Joker pada film The Dark Knight (2008) juga mendapat Oscar sebagai pemeran pembantu terbaik.
Sekalipun sudah ada sejumlah pembuktian, masih saja ada tanggapan miring yang beranggapan bahwa film superhero hanya sekedar hiburan belaka ―popcorn movie―. Martin Scorsese dalam wawancaranya dengan majalah Empire mengatakan bahwa film superhero buatan Marvel bukanlah sinema. Scorsese bahkan tidak menonton film Marvel, meskipun sudah mencobanya. Baginya Marvel dan kawan-kawan tidak lebih seperti pertunjukan taman hiburan. Marvel tidak memiliki intensitas emosi atau efek psikologis yang mendalam.
Berita penolakan Scorsese dibagikan melalui media sosial terutama oleh para pecinta DC, sebagai bentuk afirmasi atas pendapat tersebut. Sontak tanggapan atas pernyataan ini menimbulkan berbagai perdebatan, khususnya bagi para pecinta film Marvel dan DC. Hal yang menarik dari perdebatan ini adalah dua aktor utama Marvel menjawab pernyataan Scorsese dengan sangat santai. “Film adalah film. Tidak semua orang menyukai film Scorsese. Semua orang boleh beropini, jadi menurut saya ok saja. Orang tetap akan membuat film.” Samuel L Jackson menanggapi. Robert Downey Jr bahkan cenderung membela Scorsese dalam wawancara dengan Howard Stern. “Kamu sangka seorang Scorsese cemburu atas keberhasilan Marvel? Dia bahkan seorang peneliti yang juga mengarsipkan film ayah saya!”. RDJ bahkan merasa bangga bahwa pendapat Scorsese justru membuahkan perdebatan tentang ‘keburukan kualitas seni dalam film’.
Dalam kajian seni, pernyataan RDJ ternyata memang sahih karena seni bukanlah melulu hadir dari kesepakatan namun justru terlahir dari perdebatan nilai estetik. Alih-alih mengkritik, malah justru menciptakan panggung baru untuk seni yang dianggap buruk tersebut. Sejarah seni telah membuktikannya secara berulang seperti karya Urinoar-nya Marcel Duschamp yang melahirkan Dadaisme atau Kotak Sabun Brillo karya Andy Warhol yang menjadi kajian Pop Art.
Berbeda dengan Dadaisme yang mengolok-olok karya seni atau Pop Art yang mengangkat seni dari keseharian yang banal. Marvel lebih indentik dengan karya yang terkesan dangkal atau ‘tidak memiliki intensitas emosi, atau pengaruh psikologis yang mendalam’. Industri film superhero identik dengan bagaimana para kapitalis bermodal raksasa berusaha mengeruk keuntungan sebanyak mungkin. Terlebih lagi total box-office MCU (Marvel Cinematic Universe) yang sekarang sudah mengantongi lebih dari US$ 22,5 milyar, menjadikan mereka sebagai waralaba industri film terbesar dari skala keuntungan. Waralaba Star Wars yang menempati urutan kedua terbesar pun tidak sampai memperoleh keuntungan setengah dari MCU. Mereka hanya berhasil mengumpulkan sekitar US$ 9 milyar[i].
Tetapi apakah hanya karena genre superhero banyak menghasilkan keuntungan juga berarti tidak mempunyai kedalaman makna? Mari kita tegok terlebih dahulu arti sebuah karya seni menurut David Hume, tentang bagaimana seni diartikan sebagai sesuatu yang subjektif dan objektif[ii]. Hume berpendapat jika seseorang menilai sebuah karya secara jujur (sentimental subjektif) maka semua penilaiannya bisa dikatakan benar. Namun bila menilai seni secara objektif (terukur dan rasional) argumennya harus berhadapan dengan berbagai aspek nilai. Sama halnya tentang kritik keras Scorsese untuk industri film Marvel, publik akan menilai bagaimana pendapat seorang sineas kampiun melontarkan pernyataan kontroversial yang berbau sentimental.
Lantas bagaimana dengan film Joker yang belakangan ini riuh dibicarakan publik? Penayangan Joker di layar bioskop seluruh dunia disemarakkan dengan pro-kontra yang menyertainya. Komentar negatif bahwa Joker diam-diam mengampanyekan kekerasan dalam filmnya pun terasa absurd. Belum lagi penonton Indonesia yang membawa anaknya yang masih kecil untuk menonton film ini. Bukankah rating film ini jelas untuk dewasa? Belum lagi pepatah ngawur seperti ‘orang jahat adalah orang baik yang tersakiti’ membuktikan bahwa memang film ini perlu dipertimbangkan untuk penonton yang bermental lemah. Aspek lain yang patut disayangkan adalah komentar-komentar konyol dari para film snob justru membuat wacana bernas dari film Joker terkubur. Misalnya kenyinyiran warganet yang mengolok-olok karakter Joker yang diperankan Jared Leto (Suicide Squad, 2016). Atau sebaliknya, memuja-muji Joker sebagai karya berkualitas tinggi dan tidak kacangan seperti film superhero yang lain.
Padahal membandingkan Jared Leto sebagai Joker dengan membandingkan Joaquin Phoenix dan Heath Ledger dalam The Dark Knight (2008) sama sekali tidak apple to apple. Leto tampil sebagai kisah sampingan dalam Suicide Squad bukan sebagai peran utama. Joker jika dikatakan sebagai film superhero pun masih bisa dipertanyakan, karena identitas DC sebagai perusahaan penerbit tokoh fiktif ini pun tidak ada diawal film, sebagaimana layaknya film superhero DC lainnya. Film Joker tidak memiliki kaitan apa pun dengan film superhero lainnya kecuali latar cerita perseteruan Batman-Joker. Bahkan jika nama seperti Joker, Wayne dan Gotham diganti maka film Joker dapat berubah wujud sebagai film yang bertema konflik perbedaan kelas, isu yang biasa digandrungi para penikmat film festival. Pertanyaannya kemudian adalah apakah film ini masih bisa tetap menjual jika tanpa mengangkat mitos dunia Batman yang sudah begitu terkenal sebagai salah satu ikon budaya pop?
[i] https://www.statista.com/statistics/317408/highest-grossing-film-franchises-series/
[ii] Hume, David (1998) Selected Essays David Hume ed. Stephen Copley and Andrew Edgar. Oxford World’s Classics. Oxford University Press.