
“Sesuatu yang tidak diketahui atau diakui bukan berarti tidak ada dan tidak terjadi,” sebut Gorivana Ageza, dosen filsafat di Universitas Parahyangan, pada saat membuka kuliah umum Sinesofia yang bertajuk New Film History, Politics of Taste, and Classic Indonesian Exploitation Cinema. Kutipan tersebut berkenaan dengan posisi film-film eksploitasi dalam kajian historis sinema Indonesia yang bagaikan paradoks. Di satu sisi, banyak karya sinema eksploitasi Indonesia yang diabaikan dalam narasi sejarah resmi. Di sisi lain, keberadaan dan pengaruh film-film ini nyata dan signifikan dalam membentuk ‘wajah’ film Indonesia dan selera masyarakat kita.
Kuliah umum yang dilaksanakan pada Jumat, 7 Juni 2024 di gedung Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan tersebut mendatangkan Ekky Imanjaya, Ph.D., seorang akademisi bidang perfilman, yang mempresentasikan disertasi doktoralnya yang berjudul The Real Guilty Pleasures: Menimbangulang Sinema Eksploitasi Transnasional Orde Baru. Kuliah umum yang terbuka baik bagi civitas Universitas Parahyangan maupun publik tersebut dimoderatori oleh Rega Ayundya Putri.
Perhatian saya awalnya tertuju pada orang-orang di bangku penonton malam itu. Ruangan yang berisi kurang lebih 60 penonton itu terdiri dari berbagai kalangan usia dan latar belakang. Sebagian dari mereka adalah generasi Z yang notabene masih mengecap pendidikan sebagai mahasiswa, baik jurusan film atau filsafat, atau seperti saya yang nyasar dari jurusan kehutanan. Tak sedikit juga yang datang dari generasi-generasi pendahulu yang sudah bekerja di bidangnya masing-masing. Ada yang merasakan masa Orde Baru, ada yang tidak. Saya terlarut dalam isi kepala saya sendiri selagi memperhatikan sekitar. Tak lama, Ekky memutarkan cuplikan trailer film The Warrior, versi rilisan internasional dari Jaka Sembung, film laga tahun 1981 karya Sisworo Gautama Putra. Keheningan dalam ruangan tersebut pecah oleh gelak tawa. Pengalaman antara penonton yang merasakan masa Orde Baru maupun tidak melebur menjadi satu, menciptakan kehangatan di tengah dinginnya Jalan Nias malam itu. Semuanya mengenali Barry Prima dan Eva Arnaz, ikon dalam film tersebut. Semuanya terkesima dengan pengadeganan yang absurd, editing yang tidak terduga, dan pensuasanaan dunia Jaka Sembung yang serba praktis. Tak sedikit yang tepuk tangan saat melihat adegan kaki Jaka Sembung yang bisa menyatu kembali ke badannya setelah dipotong oleh musuhnya. Kekuatan narasi dan visual yang menabrak standar sinema konvensional adalah warisan sinematik yang menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Saya seperti diingatkan kembali bagaimana semasa tumbuh generasi kami masih terpapar karya-karya hasil resistensi sineas eksploitasi pada masa Orde Baru. Jaka Sembung, Santet, Pengabdi Setan, dan Serbuan Halilintar hanyalah segelintir contoh dalam presentasi Ekky dari banyaknya film eksploitasi yang tak tercatat sejarah. Saya pun tersadar mungkin lebih tepatnya generasi Z bukan “tidak merasakan” Orde Baru. Generasi Z memang tidak hidup langsung di bawah rezim otoriter tersebut, namun kami–termasuk saya–mewarisi dampak dari era tersebut. Narasi sejarah, struktur pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan kami banyak dipengaruhi oleh sisa-sisa Orde Baru, termasuk pengaruh sensor dan kontrol budaya dalam film. Internalisasi bayang-bayang Orde Baru ini sesuai dengan pembacaan Intan Paramadhita tentang sinema Indonesia pada era Orde Baru. Ia menulis kata pengantar dalam edisi terjemahan buku Krishna Sen yang berjudul Indonesian Cinema: Framing the New Order pada tahun 1994. Menurut hematnya, “saya seperti pernah ada di sini—bukan, bukan sebelumnya, tetapi saat ini.” Kesadaran Paramadhita adalah kesadaran kita. Kesadaran ini menunjukkan bagaimana warisan Orde Baru mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan dunia saat ini.
New Film History, Politics of Taste, and Classic Indonesian Exploitation Cinema
“Sejarah itu seperti spiral, berulang tapi maju ke depan,” kutip Ekky saat menjelaskan tentang konsep New Film History dalam disertasinya. Mempelajari sejarah film Indonesia tidak hanya tentang apa yang terjadi pada tahun sekian atau seberapa banyak Piala Citra yang dimenangkan seorang sineas. Pembacaan historis sering kali hanya sebatas tanggalan, mengharuskan kita untuk menghafal fakta-fakta kronologis tanpa memahami konteks yang melingkupinya. Dibanding pendekatan yang deskriptif, Ekky menawarkan kajian yang argumentatif untuk membuka ruang kritis agar dapat memahami konteks yang lebih luas baik dari segi distribusi, budaya penayangan, maupun pengaruh politik, ekonomi, serta kebijakan sensor film yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu.
Setiap film adalah cerminan dari zaman dan kondisi sosial, politik, dan budaya di mana ia dibuat. Membaca perkembangan sinema berarti juga membaca bagaimana film berhadapan dengan pemerintah yang berkuasa di masa itu. Sikap pemerintahan pada masa awal Orde Baru berdasar pada Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman bahwa perfilman merupakan alat publikasi massa yang sangat penting untuk Nation Building dan Character Building untuk mencapai tujuan Revolusi. Film yang dibuat di Indonesia pada masa itu wajib menjadi pendukung, pembela dan penyebaran dasar-dasar dan ideologi negara Pancasila dan Manifesto Politik beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya. Regulasi ketat tak hanya menghantui produksi film, namun juga bagaimana film didistribusikan dan bagaimana masyarakat pada masa itu mengonsumsi film.
Ekky mengamati adanya perubahan regulasi pada industri film masa Orde Baru seiring dengan bergantinya Menteri Penerangan yang mencoba “membina” dunia perfilman. Pada masa Boediardjo (1968-1973), pemerintah mengeluarkan kebijakan wajib memutar film nasional minimal dua judul setiap bulan karena bioskop lebih banyak memutarkan film impor, sesuai dengan permintaan pasar. Film impor yang mengandung adegan seks dan kekerasan lebih disukai masyarakat Indonesia. Untuk memenuhi permintaan pemerintah tersebut otomatis produksi film nasional harus tinggi angkanya, namun sejarah mencatatnya sebagai peningkatan kuantitas tanpa peningkatan kualitas.
Pada masa Mashuri (1973-1977), pemerintah mewajibkan para importir untuk memproduksi film sebagai syarat untuk memasukkan film dari luar negeri. Benar saja, produksi film nasional naik angkanya, khususnya pada tahun 1976 dan 1977. Namun, lagi-lagi sejarah mencatat bahwa tidak ada kemajuan dari segi mutu pada film-film tahun tersebut. Kebijakan sensor yang berlaku tak hanya membatasi ekspresi artistik, tetapi juga membentuk narasi dan tema yang dominan dalam film-film pada masa itu. Sineas Indonesia mengeksploitasi batasan-batasan yang berlaku dan cenderung meniru adegan-adegan seks serta kekerasan karena mengamati bahwa jenis film impor inilah yang diminati oleh masyarakat.
Pada masa Ali Murtopo (1978-1983), diperkenalkan istilah film “kultural-edukatif” untuk meredam film-film yang dianggap “sampah” dan “amoral”. Program Pola Dasar Pembinaan & Pengembangan Perfilman Nasional (P4N) memberikan subsidi penuh pagi film kultural-edukatif yang sesuai dengan kebijakan Dewan Film Nasional. Ada urgensi untuk menunjukkan patriotisme dan nasionalisme sebagai “wajah” film Indonesia. Tak heran jika potret sejarah yang terbingkai sebagai representasi film Indonesia adalah sebagaimana yang telah pemerintah rencanakan.
Pada masa Murtopo pula dibentuk Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri (Prokjatap Prosar), sebuah badan yang membawa film-film nasional ke film market di festival film internasional seperti Cannes dan Berlinale. Pada tahun 1982, Prokjatap Prosar membawa film-film nasional ke 32th Berlin International Film Festival. Mereka membawa film-film drama nasionalis karya sutradara dengan nama besar seperti Teguh Karya, Usmar Ismail, dan Arifin C. Noer yang mereka pasarkan sebagai “official version of national film that is suitable with their (our country) politics of tastes.” Mereka juga membawa beberapa film eksploitasi, atau yang biasa disebut film B, untuk meraup keuntungan. Benar saja, film-film yang dianggap bertentangan dengan ideologi resmi atau berpotensi merusak moral masyarakat justru malah berhasil mencuri perhatian penonton luar negeri dan menjadi “wajah” film Indonesia di festival internasional. Sejumlah 7 film berhasil dijual di film market Berlinale dan 4 dari 7 film tersebut adalah film eksploitasi. Tak hanya di Berlinale, pada Cannes Film Festival di tahun yang sama, setidaknya 9 judul film eksploitasi berhasil dijual untuk didistribusikan ke berbagai belahan dunia. Bahkan, penjualannya terus meningkat di sirkuit festival internasional tahun berikutnya karena kepercayaan penonton internasional mulai tumbuh pada film-film laga atau mistis Indonesia yang dianggap remeh dan “menurunkan kualitas” di negeri sendiri.
Fakta bahwa film eksploitasi begitu masif diterima di kancah internasional sendiri adalah kekhilafan pemerintah pada masa tersebut. Mereka terlalu sibuk menyeragamkan narasi film yang beredar untuk menjadi alat propaganda mereka. Mereka terlalu arogan untuk mengakui film eksploitasi sebagai anak kandung sinema Indonesia. Padahal film eksploitasi hadir dan dikonsumsi banyak orang membuktikan orang-orang tersebut haus akan estetika tertentu. Menurut Ekky, film eksploitasi begitu diterima oleh penonton luar negeri karena nilai eksotiknya. Mistisisme dan keabsurdan film eksploitasi Indonesia berada di level lain. Mereka tidak akan menemukan figur kuyang dalam film Mystics in Bali atau Suzanna berbadan buaya dalam film Santet di film lainnya.
Estetika Crazy Indonesia adalah semurni-murninya pencapaian kebebasan berkreasi yang hanya dapat dicapai ketika seorang sineas menunjukkan resistensi untuk melampaui batas-batas restriksi. Mondo Macabro menulis subbab khusus tentang film eksploitasi Indonesia. Film Mystics in Bali (1981) karya Tjut Djalil disebut sebagai “holy grail of Asian cult cinema” dan memperkenalkan jenis vampir baru ke sinema dunia. Karya Tjut Djalil lainnya, Pembalasan Ratu Laut Selatan atau yang dikenal Lady Terminator (1988) masuk ke dalam buku 100 Cult Films oleh British Film Institute dan dibaca sama pentingnya dengan film-film auteur ternama seperti Akira Kurosawa atau Alejandro Jodorowsky. Hal-hal seperti ini yang luput dari catatan sejarah dan melalui studi arsipnya Ekky membuktikan signifikansi kultural film eksploitasi Indonesia baik secara nasional maupun internasional.
Ekky Imanjaya membuktikan daya tahan film eksploitasi. Kenyataannya, film eksploitasi tak pernah mati. Umur mereka sepanjang selama masih ada yang membicarakannya. Mereka bernapas melalui percakapan, berbisik di antara adegan-adegan yang memicu debat tak berkesudahan, memastikan eksistensinya abadi di tengah hiruk-pikuk dunia sinema.