Di puncak pantai karang terdapat sebuah rumah mewah yang didiami pasangan Cecilia Kass (Elisabeth Moss) dan Adrian Griffin (Oliver Jackson-Cohen). Malam itu Cecilia mencampurkan Diazepam ke dalam gelas Griffin, dia berniat kabur dari pacarnya. Rencana kabur tersebut rupanya sudah direncanakan matang, terlihat dari tas yang sudah disiapkan, mematikan alarm rumah, mengatur CCTV, hingga menghubungi adiknya Emily Kass (Harriet Dyer) untuk menjemputnya di bawah bukit dengan mobil.

Hampir saja aksi tersebut gagal, karena tanpa sengaja Cecilia menghidupkan alarm mobil di garasi ketika mencoba melepaskan kalung leher anjingnya. Adrian terbangun dan mengejar Cecilia yang sudah berada di dalam mobil Emily. Adrian sempat memecahkan kaca jendela mobil Emily untuk menarik pacarnya keluar dari mobil, namun gagal. Sebuah botol Diazepam terjatuh dan dipungut oleh tangan Adrian yang berlumuran darah.

Adegan pembuka yang cukup menegangkan ini membuka cerita tentang bagaimana Cecilia berusaha kabur karena kekerasan domestik yang dilakukan oleh Adrian. Begitu penuturan Cecilia, yang digambarkan bagaimana sehari-hari dalam “safe house”-nya di rumah James Lanier (Aldis Hodge) masih saja terbayang-bayang Adrian yang terus mengejarnya.

Hingga pada suatu hari Emily mengabarkan tentang kematian Adrian. Si pacar abusif ini diberitakan telah bunuh diri. Lewat pemberitaan media dituliskan bahwa Adrian adalah seorang ahli teknologi yang berhubungan dengan optik. Sekaligus menjelaskan bagaimana Adrian bisa memiliki rumah super mewah, mobil sport dan laboratorium di basemen rumahnya yang dipenuhi alat-alat mutakhir.

The Invisible Man (Leigh Whannell, 2020) adalah salah satu upaya restorasi tokoh-tokoh horor dari Universal Picture yang sempat merajai di era tahun 1930-1940an. The Invisible Man sendiri merupakan reboot dari film dengan judul sama pada tahun 1933. Beberapa proyek reboot lainnya adalah The Mummy (Alex Kurtzman, 2017) yang dibintangi Tom Cruise, dan Dracula Untold (Gary Shore, 2014) yang dibintangi Luke Evans.

Yang membedakan film-film itu dari The Invisible Man (2020) adalah begitu banyak respon positif tentang film ini. Kamera yang bergerak perlahan dan tidak memaksakan jump scare terasa mencekam. Suasana yang berhasil menggiring penonton pada kecemasan karena menunggu adegan demi adegan. Scoring film pun berfungsi optimal sehingga mampu menambah ketegangan.

Gaya penuturan intens yang dibangun oleh film ini boleh dibilang menarik dan tidak umum. Penonton diajak untuk mengamati Cecilia yang paranoid karena terus dibayang-bayangi mantan kekasihnya yang abusive secara mental dan fisik. Adegan demi adegan membuat penonton bertanya-tanya, siapa gerangan yang terus menerus meneror Cecilia. Bukankah Adrian sudah mati bunuh diri?

Di tengah puji-pujian yang dilayangkan untuk The Invisible Man, ada sejumlah hal yang terasa cukup mengganggu. Terutama pada logika cerita yang kurang mumpuni. Semua teror ternyata berasal dari “pakaian super” hi-tech ciptaan Adrian yang membuat penggunanya tak kasatmata. Semenjak penonton dipaparkan fakta bahwa sang penjahat adalah seseorang yang mengenakan pakaian tembus pandang, film ini mulai kedodoran logika.

Adegan Cecilia berhasil menjebak manusia transparan ini dengan menyiram cat dari atas gudang loteng, sungguh mengundang pertanyaan. Bagaimana mungkin orang yang terguyur cat bisa menghilangkan jejak tetesan cat dan pergi ke wastafel untuk membersihkan seluruh cat yang mengguyurnya dalam hitungan detik secara sempurna? Wallahualam.

Tidak berhenti sampai disitu, Adrian digambarkan sangat jenius sekaligus licik dan kejam. Dengan cerita yang berlubang sana sini, dikisahkan Tom Griffin (Michael Dorman) akhirnya mati karena manipulasi Adrian. Cecilia kemudian diceritakan berhasil menjebak sang ‘invisible man’ dengan cara menusukkan pena,  membuat baju canggih tersebut malfunction dan mulai bisa terlihat. Namun ketika lebih dari selusin polisi berusaha menangkap sang invisible man yang bajunya sudah mulai rusak, sekonyong-konyong “kostum super” itu berfungsi normal.

Horor dengan Tokoh Jahat Manusia

Leigh Whannell (sutradara dan penulis) film ini mungkin berusaha mati-matian untuk menjaga intensitas ketegangan hingga mengabaikan logika. Selain The Invisible Man, banyak film lain yang juga mengadaptasi kisah horor dari novel The Invisible Man karya H.G. Wells. Termasuk Hollow Man (Paul Verhoeven, 2000) yang mendapatkan nomine Oscar untuk kategori Best Visual Effect. Entah mengapa rating film-film ini (kecuali The Invisible Man versi 1933) jauh lebih rendah dan mendapat sentimen negatif menurut hasil pooling portal film internasional.

Plot hole dalam film horor/thriller sering terjadi di film-film sejenis yang penjahatnya adalah orang biasa tanpa kekuatan super. Film sejenis horor yang penjahatnya manusia biasa seperti The Hitcher (Dave Meyers, 2007) atau seri film Saw juga mengalami blunder dengan pola yang sama. Seisi tokoh figuran dalam film seolah bahu-membahu untuk menyukseskan kehendak Sang Penjahat. Berbeda dengan film horor yang berhubungan dengan kekuatan supranatural (hantu atau sejenisnya), omnipotent bisa dijelaskan dengan mudah. Terang saja, namanya juga setan…

Mengacu tentang bagaimana film bisa mengecoh penonton terhadap fakta yang tersaji, sebenarnya berkaitan dengan kinerja otak manusia. Manusia sering terfokus pada suatu hal sehingga mengabaikan keutuhan adegan yang tersaji. Seperti dalam serial TV sains Brain Games, Apollo Robbins seorang pesulap membuktikan bagaimana persepsi manusia dikecoh. Melalui gerakan tangan sederhana, seorang pesulap mampu “menipu” korbannya.

Pernyataan Slavoj Zizek dalam film dokumenter Pervert Guide to Ideology memberikan contoh bagaimana penonton film sebenarnya sedang “dipaksa” untuk menelan apa yang disuguhkan oleh film. They Live (1988) sebuah film horor karya John Carpenter menjadi contoh ilustrasi argumen Zizek. Di film itu diceritakan bahwa sebenarnya manusia bumi tengah dikibuli habis-habisan oleh alien yang hanya bisa dilihat melalui kacamata khusus.

Tidak semua film horor yang tokoh jahatnya manusia fana terjebak dalam kerancuan logika. Film horor yang hanya berfokus pada relasi pelaku-korban biasanya mampu membangun logika yang lebih masuk akal. Contohnya seperti film horor Scream (Wes Craven, 1996), I Know What You Did Last Summer (Jim Gillespie, 1997), Wrong Turn (Rob Schmidt, 2003) atau beberapa seri awal Saw. Tokoh korban terjebak pada suatu kondisi yang diciptakan oleh penjahat dan tidak melibatkan elemen lain yang berlebihan. Kapasitas manusia normal dalam judul-judul film tersebut masih dalam batas wajar dan tidak membodohi penonton.

Ide untuk mengangkat isu kekerasan domestik terhadap perempuan juga bukan hal yang baru. Beberapa film horor seperti Midsommar (Ari Aster, 2019), atau banyak film horor hasil adaptasi dari novel Stephen King yang menyoroti isu kekerasan dalam rumah tangga. Juga cukup banyak film horor barat bagus yang bertema tokoh utama perempuan tersiksa lalu berhasil melakukan pembalasan manis seperti I Spit on Your Grave, Hush atau Don’t Breath.

Memang ada hal yang cukup membanggakan warga +62 karena lagu Rich Brian – Kids turut diputar dalam film ini. Tetapi menurut saya pujian Joko Anwar terhadap film The Invisible Man terlalu berlebihan. Dalam Twitter Joko Anwar menyebut film ini “Really scary with a story that resonates”. Saya rasa, film-film horor karya Joko Anwar lebih bagus, dan tetap menggunakan alur logika penceritaan yang masuk akal.