Setelah dua tahun berjalan, akhirnya Night Bus sampai juga di perhentian pertamanya: bioskop tanah air. Film yang tayang mulai 6 April ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata Teuku Rifnu Wikana –ikut berperan sebagai Bagudung– yang lebih dulu dituliskannya ke dalam sebuah cerpen berjudul “Selamat”. Kisahnya tentang sekelompok orang yang sedang dalam perjalanan bus malam menuju Sampar, sebuah daerah konflik yang terjadi antara penduduk lokal dan pemerintah.
Layaknya film perjalanan (baca: road movie), Night Bus memulai perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang harus melewati berbagai hambatan. Tujuan bus bernama Babad ini memang bersifat tunggal tapi para penumpangnya punya tujuannya masing-masing. Hal yang kita semua sadari bahwa tujuan selalu berbanding lurus dengan masalah, dalam Night Bus berbagai masalah muncul dari dalam dan luar bus: konflik antarpenumpang dan konflik daerah Sampar.
Masalah utamanya jelas datang dari luar bus dimulai dari tentara yang menjaga ketat perbatasan, penyusup yang memaksa ikut dalam bus, sampai para pemberontak yang tiba-tiba mengadang. Kejadian-kejadian tersebut membuat perjalanan semakin sulit dan memaksa penumpangnya ikut terseret ke dalam konflik kepentingan dan kekuasaan antara para militan Sampar dan para tentara pemerintah.
Sebagai penulis naskah, Rahabi Mandra menarasikan semesta film ini sebagai daerah konflik dengan adegan-adegan yang mengutamakan dialog antartokoh. Dari para tokoh ini pula muncul pertanyaan mendasar, mengapa mereka ingin pergi ke Sampar? Jawabannya jelas berbeda-beda tapi secara umum bisa dibagi menjadi dua faktor, yaitu ekonomi dan sosial.
Mereka yang didorong faktor ekonomi adalah Amang dan Bagudung (supir dan kenek bus) ingin mencari uang, Mala dan Rifat (sepasang kekasih) ingin mendapatkan pekerjaan, Yuda (wartawan) ingin meliput daerah konflik. Motif mereka berlima sama; mereka ingin mendapatkan uang, terlepas dari pandangan idealnya masing-masing mengenai pekerjaan mereka.
Sementara mereka yang didorong faktor sosial adalah Annisa (perempuan berjilbab) Luthfy (penyanyi buta) dan Umar (saudagar kaya) ingin pulang ke rumahnya masing-masing, Nur bersama Laila (nenek dan cucu) ingin berziarah ke makam anak Nur –ayah Laila, serta Idrus (aktivis sosial) ingin mencari teman-temannya yang hilang. Mereka melakukan perjalanan dengan motif urusan sosial: keluarga dan teman.
Dengan banyaknya tokoh yang terlibat maka muncul pertanyaan lain, siapakah tokoh utama dalam film ini? Pertanyaan ini sejatinya juga mempertanyakan, lewat siapa sang sineas hendak membawa penontonnya merasakan sesuatu? Jika dilihat dari porsi adegan, rasanya tidak ada yang dominan di antara para penumpang bus. Setiap penumpang memiliki porsi dan perannya masing-masing dalam cerita, karena itu butuh durasi panjang untuk mengenalkan tokoh-tokoh di dalamnya.
Sampai film selesai ternyata memang tidak ada satu tokoh utama yang menjadi tokoh sentral sepanjang film. Night Bus menceritakan seluruh penumpangnya satu demi satu guna menjelaskan latar belakang tokohnya. Namun sayangnya hal ini membuat cerita tidak semakin menegangkan seperti yang dibayangkan, malah terasa semakin mengendur tensinya. Padahal porsi adegan bisa lebih ditekankan pada satu orang, misalnya seseorang yang memiliki prioritas paling tinggi di antara penumpang.
Di luar urusan tokoh utama, penokohan tiap karakternya memang menarik dengan ciri khasnya masing-masing. Misalnya tokoh Umar (Torro Margens) menjadi pusat kekacauan dalam bus yang hanya mementingkan dirinya sendiri, penyanyi buta bernama Luthfy (Agus Nur Amal) yang walau melaksanakan solat tapi tetap minum tuak, atau Bagudung (Teuku Rifnu Wikana) yang walau banyak bicara sana-sini tapi tetap peduli dengan para penumpangnya.
Pada akhirnya faktor ekonomi dan sosial yang menjadi motif penumpang bus harus rela direcoki urusan-urusan yang bersifat politis. Hal itu mau-tidak-mau menjadikan para penumpang bus sebagai korban atas perseteruan kedua belah pihak yang berkonflik. Pemilihan sudut pandang ini menyiratkan pesan bahwa setiap konflik pasti akan menelan korban dan merugikan seluruh warga dari segi ekonomi maupun sosial.
Night Bus bak oasis di tengah panasnya film-film drama dan komedi hasil produksi dalam negeri. Film yang mencampurkan drama dan thriller ini menawarkan pilihan alternatif menonton dengan berbagai ketegangan yang ditawarkannya. Pun setelah menontonnya kita perlu mempertanyakan kembali, mengapa sebuah konflik bisa terjadi? Dan adakah seseorang atau kelompok yang diuntungkan dari konflik tersebut?