Ketidaksinambungan

Meski heteronormativitas kerap menggunakan konsep cinta untuk membuat orang-orang dengan sukarela mengikuti “aturan main”-nya, sebenarnya yang terjadi tidaklah seserta- merta demikian. Revolutionary Road menunjukkan kepada penonton bahwa sangat mungkin terjadi ketidaksinambungan antara cinta dan berkeluarga/berumah tangga.

April dan Frank mulanya saling mencintai. Frank mengkhianati April melalui perselingkuhannya, dan April tidak mengetahui hal itu. Cinta April dan Frank yang kemudian berbuah kehamilan April, justru menjadi salah satu penyebab petaka bagi rumah tangga mereka. Dalam keadaan marah dan kecewa karena impiannya gagal, April berselingkuh dengan tetangganya, Shep Campbell, yang memang sejak lama menyukainya meski Shep sudah beristri . Frank sengaja membongkar perselingkuhan-perselingkuhannya agar April merasa cemburu dan “terancam”, kemudian kembali mencintai Frank. April mengatakan pada Frank bahwa ia tidak lagi mencintai Frank. Frank menjawabnya dengan mengatakan jika April tidak mencintainya, mengapa ia mengandung anak Frank. Padahal sebelumnya Frank sudah menuding April sebagai ibu yang kejam karena lebih memilih mimpinya ketimbang janinnya.

Dari kronologi di atas, pertama, kita bisa melihat bahwa dalam logika Frank, April tidak bisa tidak mempertahankan janinnya. Mempertahankan janin menunjukkan pula bahwa mencintai Frank adalah suatu kewajiban. Sebab, dalam logika Frank, April mengandung karena mencintai Frank. Dengan kata lain, dalam kedirian seorang perempuan, heteronormativitas dan maskulinitas tidak hanya menuntut afeksi, melainkan juga reproduksi. Hal kedua yang ingin saya sampaikan dari kronologi tersebut adalah, seseorang bisa menikah tanpa cinta, seseorang bisa mencintai orang lain yang tidak ia nikahi, dan dalam berkeluarga, cinta bukanlah sesuatu yang konstan dan mutlak.

Pada era masyarakat primitif, reproduksi adalah cara mempertahankan keberadaan spesies manusia. Tidak hanya melalui pewarisan klan, anak juga akan membantu kelompok untuk bertahan hidup, baik melalui bantuan tenaga untuk mencari makan, juga bantuan tenaga dalam perang. Jadi, meski kini kita sudah berada pada era modern, naluri purba untuk berkembang biak masih tetap bertahan. Perbedaannya terletak pada caranya yang “diperhalus” yakni melalui pelembagaan keluarga dan konsep cinta.

Anti klimaks dalam Revolutionary Road digambarkan melalui adegan Frank yang tengah menemani anak-anaknya bermain. Adegan selanjutnya adalah adegan keluarga Campbell tengah berbincang dengan keluarga baru yang menempati bekas kediaman Wheeler. Mereka membicarakan kisah Wheeler, keluarga ideal yang berakhir tragis. Film ditutup dengan adegan Helen Givings, ibu dari John, membicarakan Wheeler pada suaminya, Howard Givings. Helen mengatakan bahwa ia tidak menyukai Wheeler padahal pada bagian awal hingga pertengah film, diceritakan bahwa Helen sangat baik dan kerap memuji Wheeler . Sang suami enggan mendengarkan keluh kesah istrinya, ia sengaja mematikan alat bantu dengarnya.

Dari adegan-adegan penutup Revolutionary Road ini kita bisa menandai beberapa hal. Pertama, Frank, atau dengan kata lain, laki-laki-lah yang lebih bertahan dalam cara kerja heteronormativitas. Sekalipun tidak selamanya laki-laki mendapat privilese dalam sistem ini, setidaknya kondisi laki-laki lebih baik dari perempuan. Frank juga mesti bertahan hidup karena mencintai anak-anaknya dan kehendak melindungi generasi penerusnya. Kedua, film ini seolah ingin mewanti-wanti maskulin bahwa jika mereka masih saja abai pada kondisi yang menimpa perempuan, pada akhirnya mereka juga yang akan mengalami kelimpungan karena kehilangan “rekan perjuangannya”. Ketiga, betapa rentan dan rapuhnya predikat “ideal” itu. Ideal heteronormativitas tetap sama, sekalipun manusianya berbeda dan berganti-ganti. Keempat, Revolutionary Road seolah ingin menganjurkan kita untuk bertindak seperti Howard Givings. Ada kalanya kita perlu “menutup telinga” dari segala anjuran dan promosi atas aneka ideal yang ada di masyarakat.

Revolutionary Road secara sinis menunjukkan bagaimana kita tidak mempunyai jalan keluar dari hidup yang hampa dan putus asa. Bila berkeras hati memaksa keluar dari “aturan main” itu, bersiaplah menjadi gila, dimusuhi masyarakat, bahkan jika tengah tidak beruntung akan berhadapan dengan maut. Jika Revolutionary Road adalah sebuah cermin, maka dunia yang ia refleksikan memang semuram itu.

***

Referensi

  • Agamben, G. (2009). What is an Apparatus? : Stanford University Press.
  • Bradley, H. (1992). Changing Social Structures : Class and Gender. In S. Hall & B. Gieben (Eds.), Formations of Modernity. Oxford: Blackwell Publishers and The Open University.
  • Dyer, R. (1997). Heterosexuality. In A. Medhurst & S. Munt (Eds.), Lesbian and Gay Studies: Monash University.
  • Jackson, S. (2006). Gender, Sexuality, and Heterosexuality : The Complexity (and limits) of Heteronormativity. Feminist Theory, 7, 17.
  • Mendes, S. (Writer). (2008). Revolutionary Road. Los Angeles: Paramount Vantage United International Pictures.
  • Mosse, G. L. (1996). The Image of Man : The Creation of Modern Masculinity. New York: Oxford University Press.
  • Segal, L. (2014). Menoleh Penuh Amarah : Laki-laki Tahun 1950-an (F. Mayasari, Trans.). In R. Chapman & J. Rutherford (Eds.), Male Order : Menguak Maskulinitas. Yogyakarta: Jalasutra. Sugiharto, B. (2013). Film dan Hakikatnya. In B.
  • Sugiharto (Ed.), Untuk Apa Seni? Bandung: Matahari.
  • Suryakusuma, J. (2012). Agama, Seks, dan Kekuasaan. Depok: Komunitas Bambu.