When you’re a child you learn there are three dimensions
Height, width, and depth
Like a shoebox
The later you hear there’s a fourth dimension
Time
Hmm
The some say there can be five, six, seven…
I knock off work
Have a beer at the bar
I look down at the glass and feel glad
Tulisan di atas adalah salah satu puisi buatan Paterson yang berjudul “Another One”. Puisi tersebut mengisahkan kegiatan Paterson melewati waktu. Dalam bait pertama Paterson mendeskripsikan pemikirannya mengenai waktu. Sementara dalam bait kedua ia merefleksikan waktu dalam kehidupannya. Puisi ini sekilas menggambarkan film terbaru Jim Jarmusch berjudul Paterson yang menceritakan keseharian seorang supir bus sekaligus penyair bernama Paterson.
Setiap pagi sekitar pukul enam, Paterson selalu bangun tidur dan melihat jam tangan klasiknya untuk sekadar memastikan waktu. Di sampingnya, Laura –pasangan Paterson– masih lelap dalam tidurnya. Kemudian Paterson bergegas mempersiapkan diri untuk pergi bekerja. Setelah mengenakan pakaian kerjanya, ia segera keluar rumah dan berjalan kaki menyusuri sudut kota yang juga bernama Paterson, terletak di New Jersey, Amerika Serikat.
Sebelum bus berangkat, Paterson selalu menuliskan sebuah puisi di buku catatan miliknya. Sesudah itu mulailah ia bekerja dan kembali menulis puisi kala istirahat makan siang sambil sesekali melihat air terjun Passaic. Sore hari setelah selesai bekerja, ia langsung pulang ke rumah dan selalu memperbaiki kotak pos surat yang miring di depan rumahnya.
Malam harinya, ia rutin mengajak Marvin –anjing english bulldog peliharaannya– jalan-jalan di sekitar rumah sampai ke sebuah bar. Di dalam bar, Paterson selalu mengobrol dengan seorang bartender bernama Doc sembari minum bir yang dipesannya. Aktivitas Paterson hari itu pun berakhir. Begitulah kegiatan Paterson sehari-hari dalam melewati waktu dari Senin sampai Jum’at, terbayang membosankan bukan?
Setelah terakhir menggarap Only Lovers Left Alive (2013), Jim Jarmusch kembali dengan kisah kehidupan sehari-hari Paterson yang bisa dibilang biasa saja bahkan ia pun bukan siapa-siapa, hanya seorang supir bus. Keseharian Paterson layaknya warga kelas menengah pada umumnya: bekerja, makan, tidur dan begitu seterusnya. Hidup Paterson seakan berada di jalur yang benar dan lurus bebas hambatan. Hari berlalu tak ada hujan, petir apalagi badai. Segalanya terasa tenang, damai, dan tentram.
Di dalam rumah, Laura begitu asyik berkreasi menghias dekorasi rumah dengan warna monokrom; membuat cupcake untuk dijual; membeli gitar via internet. Sementara di luar rumah, Paterson dengan kalem mengantar penumpang bus dari satu tempat ke tempat lain; mengajak Marvin jalan-jalan malam hari; mengobrol apa pun dengan Doc di bar. Lalu apa konfliknya? Jika muncul pertanyaan ini, jawabannya adalah aktivitas rutin yang monoton.
Paterson mungkin saja tidak merasa jenuh dengan kesehariannya, malah penontonnya yang merasa demikian. Apalagi Jarmusch bercerita secara kronologis keseharian Paterson dari pagi hingga malam selama sepekan. Penonton semakin merasa bosan karena melihat kejadian yang sama terus berulang setiap harinya. Jarmusch jelas tidak menulis cerita Paterson dengan pola tiga babak seperti film pada umumnya.
Di sela kesibukan, Paterson menyempatkan waktunya untuk menulis sebuah puisi. Pengalaman sehari-harinya, ia jadikan sebagai rujukan saat menulis puisi, misalnya puisi “Love Poem” yang terinspirasi dari korek api berwarna biru bernama Ohio Blue Tip. Puisi-puisinya tidak hanya sekadar kumpulan kata tapi juga dihidupkan dalam bentuk audio-visual dengan manis dan puitis. Juga ditambah suara khas Adam Driver –pemeran Paterson– yang berpadu dengan teks puisi di dalam layar.
Paterson menjadikan puisi sebagai jalan keluar dari jenuhnya keseharian. Paterson dan puisi adalah dua sisi berbeda yang saling menguatkan. Keseharian Paterson memberikan inspirasi untuk menulis puisi, begitu pun sebaliknya puisi membuat Paterson bergairah dalam menjalani kehidupan. Paterson mencerminkan aktivitas rutin manusia serta bagaimana cara sederhana menyiasatinya.