Khalayak percaya bahwa manusia dilahirkan berpasang-pasangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kisah cinta menjadi konsep yang dikomodifikasi oleh kapitalisme. Film, sinetron, novel, dan musik, adalah beberapa contoh yang menonjol. Budaya populer menjadi cermin paradigma masyarakat, dan pada saat bersamaan, budaya populer turut andil dalam membentuk paradigma masyarakat. Paradigma yang serupa tercermin pula pada sikap para figur publik. Mulai dari komedian hingga pejabat publik kerap melontarkan olok-olok, keprihatinan, bahkan kebijakan terkait orang-orang yang belum memiliki pasangan. Jomblo, demikian istilah yang disematkan kepada orang yang tidak berpasangan.

Masyarakat mengarahkan orang untuk berpasangan, untuk kemudian disahkan dalam pernikahan, dan dilembagakan menjadi keluarga. Pelembagaan menjadi sebuah keluarga atau dengan kata lain sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat secara implisit namun tegas mengandaikan bahwa pasangan yang (di)legal(kan) adalah pasangan heteroseksual. Meski beberapa negara sudah melegalkan pernikahan pasangan sesama jenis, namun mayoritas negara masih setia dengan paradigma heteronormativitas, termasuk Indonesia. Secara tidak langsung, masyarakat normatif hendak menegaskan sikapnya yang menganulir afeksi (“cinta”) antar pasangan non-heteroseksual. Sebab, dalam heteronormativitas, aspek afeksi hanya menjadi salah satu elemen di antara berbagai aspek lain.

Kritikus film Eric Sasono mengungkapkan:

“Keluarga sebagai sebuah locus kehidupan manusia di mana interaksi anggota- anggotanya sangat intensif, potensial sekali menimbulkan konflik yang tajam & dramatis. Maka tidak heran jika konflik keluarga menjadi sajian paling sering hadir dalam film drama di belahan dunia mana saja.”

dalam harian Kompas yang terbit pada Mei 2005. Pendapat Eric Sasono berkesesuaian dengan hal yang saya singgung sebelumnya, bahwa film adalah cermin masyarakat. Film memampukan manusia melihat, menyadari, dan merefleksikan perkara-perkara yang terjadi dalam hidup manusia, yang sebelumnya diterima begitu saja sebagai taken for granted (Sugiharto, 2013).

Berangkat dari kegelisahan saya mengenai (lembaga) keluarga dan keyakinan saya bahwa film adalah medium untuk merefleksikan kehidupan, saya memilih untuk menelisik film Revolutionary Road (Sam Mendes, 2008) yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Richard Yates yang terbit pada tahun 1961. Saya memilih Revolutionary Road karena film ini menggambarkan realitas dunia modern, heteronormativitas, dan maskulinitas modern yang termanifestasi dalam imaji keluarga ideal. Berbeda dengan rata-rata film Hollywood lain, imaji keluarga ideal dalam Revolutionary Road justru dibongkar dan diungkapkan sisi lainnya. Kisah pertemuan dan percintaan yang manis antara kedua tokoh utama, yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet, hanya ditampilkan sekelumit di bagian awal film. Hal ini tentu amat berbeda dengan film-film pada umumnya yang menggunakan nyaris keseluruhan durasinya untuk menggambarkan perjalanan dua insan, dan film diakhiri dengan pernikahan. Sebagai catatan, tulisan ini akan membahas keseluruhan film. Oleh karena itu, mungkin kurang dianjurkan kepada pembaca yang menghindari spoiler.

Pernikahan dan Keluarga

Cinta yang ideal adalah cinta antara laki-laki dan perempuan, serta berakhir di pelaminan, demikianlah ideal yang ada di masyarakat (Jackson, 2006). Pernikahan, pada titik ini, sudah menjadi meminjam istilah Roland Barthes mitos mengenai tujuan hidup manusia. Hidup seorang manusia, seolah-olah, belumlah sempurna jika tidak memiliki pasangan. Ideal semacam ini sudah dicangkokkan ke dalam pikiran seseorang bahkan sejak anak-anak melalui berbagai kisah dongeng anak-anak. Fairy tale, misalnya, yang lebih banyak diakses oleh anak perempuan mengarahkan perempuan untuk menjadikan “pengantin” (bride) sebagai cita-cita dalam hidupnya. Dalam kerangka pikir heteronormativitas, dengan demikian, kedudukan seseorang yang menikah lebih tinggi ketimbang yang masih melajang (Suryakusuma, 2012).

Tidak hanya membakukan hubungan heteroseksual sebagai sesuatu yang dianggap normal dan ideal (Dyer, 1997), heteronormativitas bahkan masuk lebih jauh ke dalam pikiran, kehendak, tindakan, bahkan alam bawah sadar manusia. Laki-laki “mesti” menjadi sosok yang aktif, berinisiatif, agresif, dan superior; sementara perempuan “mesti” menempati posisi pasif dan inferior (Dyer, 1997). Pada titik ini, keluarga dapat kita kategorikan sebagai apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai apparatus, yang baik secara sadar mau pun tidak sadar sudah mempengaruhi dan menentukan hidup kita (2009). Dalam Agama, Seks, dan Kekuasaan (2012), Julia Suryakusuma memaparkan beberapa catatan mengenai keluarga (Suryakusuma, 2012:147). Pertama, keluarga sebagai unit ekonomi, tempat bereproduksi, konsumen, dan “produsen” generasi kerja baru. Kedua, tempat pembentukkan dan pewarisan ideologi. Ketiga, tempat pembentukan kesatuan “biososial” atau dengan kata lain, tempat mengkonstruksi hubungan ayah-ibu-anak. Dari pemikiran Julia Suryakusuma ini, kita dapat melihat bagaimana heteronormativitas dikonstruksi, didistribusi, dan direproduksi oleh keluarga, dan untuk (ber)keluarga.

Dalam keluarga heteronormatif, terjadi pembagian kerja. Kondisi ini berbeda dengan era pra-modernitas, yakni ketika seluruh anggota keluarga bekerja bersama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga itu sendiri (Bradley, 1992). Heteronormativitas, dengan demikian, berkelindan dengan modernitas dan kapitalisme. Laki-laki menempati posisi sebagai pencari nafkah utama (“produksi”), dan berada pada ranah publik. Perempuan “disisakan” posisi pada ranah domestik, reproduksi, dan konsumen rumah tangga. Suami/ayah adalah tenaga kerja yang memutar roda kapitalisme, sementara istri/ibu adalah tenaga kerja gratis yang mempersiapkan dan mendukung suaminya menjadi “buruh-buruh” kapitalis. Julia Suryakusuma menyebut pembagian kerja ini dengan proletarisasi laki-laki berdasarkan pengiburumahtanggaan perempuan (Suryakusuma, 2012:179).

Imaji Keluarga Ideal

Revolutionary Road (Mendes, 2008) adalah kisah mengenai keluarga Frank Wheeler yang hidup pada era tahun 1950-an. Keluarga Frank Wheeler adalah gambaran keluarga ideal kelas menengah modern: ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan. Mereka berencana pindah ke Perancis untuk keluar dari hidup mereka yang seolah-olah ideal, namun sebenarnya hampa dan putus asa. Kekacauan mulai terjadi saat rencana mereka pindah dari Amerika Serikat ke Perancis tiba-tiba gagal karena Frank Wheeler mendapatkan promosi jabatan, dan April hamil.

Latar tahun 1950an menjadi hal penting sebagai konteks cerita Revolutionary Road. Pada zaman pasca Perang Dunia II, masyarakat berada pada perasaan cemas (postwar anxiety) akibat perang, sekaligus masa ketika harapan akan kehidupan yang lebih baik relatif menggebu-gebu. Pada era yang sama, Hollywood tengah gencar-gencarnya memproduksi film dengan gambaran keluarga ideal yang baru (Segal, 2014). Pada imaji baru mengenai keluarga ideal, sosok suami/ayah digambarkan sebagai laki-laki yang tangguh, lembut, sensitif, dan mengutamakan keluarga (family man) (Segal, 2014). Sementara itu, istri/ibu digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang bahagia (Segal, 2014). Dengan kata lain, pada zaman itu ide mengenai pembagian kerja (yang menjadi kunci keluarga ideal dan bahagia) dimasyarakatkan dengan gencar. Masih dalam era yang sama, muncul pula mitos kesetaraan gender (Segal, 2014), padahal sebenarnya perempuan-perempuan berada pada kondisi patologis akibat “aturan main” heteronormativitas yang memberikan keuntungan pada laki-laki dan menekan perempuan.

Keluarga ideal modern, sebagaimana yang ditampilkan dalam Revolutionary Road, adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ayah bekerja sebagai pencari nafkah, ibu rumah tangga, dan anak-anak yang bersekolah. Keluarga kelas menengah kulit putih yang memiliki rumah yang nyaman dan modern, serta memiliki kendaraan roda empat. Kepemilikan material semacam ini, sebagaimana yang kerap ditampilkan film-film lain, dicita-citakan dan diyakini akan berbanding lurus dengan kebahagiaan keluarga. Keyakinan semacam ini, terkait dengan asumsi modernitas, bahwa kesejateraan batiniah akan tercapai jika kesejahteraan fisikal-material sudah lebih dahulu terpenuhi. Konsep keluarga ideal semacam ini dapat kita bandingkan pula dengan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.