
Bayangkan bangun pagi di Kroasia, tubuh masih lelah, kepala berkabut. Di sampingmu, seorang perempuan tak dikenal membuka matanya dan dengan tenang menyapamu sebagai suaminya. Dia mengaku datang dari masa depan. Inilah situasi absurd yang menjerat Jonathan (Dion Wiyoko), seorang fotografer yang hidupnya mulai kehilangan arah di tengah kemapanan Eropa. Kehadiran Sore (Sheila Dara Aisha), sang istri dari masa depan di ranjang tempat tidur, bukanlah pengantar dongeng yang manis, melainkan pintu masuk ke sebuah ruang keraguan yang disengaja. Film Sore: Istri dari Masa Depan (2025) tak buru-buru membujuk kita mempercayai klaim Sore. Seperti Jonathan, penonton dibiarkan terombang-ambing, diajak menyelami kebingungan perlahan, hingga akhirnya keyakinan itu meresap: Sore memang datang dari masa depan yang belum terpahami.
Dari adegan pembuka ini, sidik jari khas sutradara Yandy Laurens kembali terasa setelah absen dari beberapa film terakhirnya. Yandy bukan pendatang baru di arena cerita romansa yang dibumbui fantasi liar dan, jujur saja, seringkali tak masuk akal secara konvensional. Lihatlah jejaknya: Dalam Yang Hilang dalam Cinta (2022), Dara tiba-tiba menjadi hantu yang hanya bisa dilihat dan disentuh oleh Satria, mantan kekasihnya, tepat di tengah persiapan pernikahannya dengan pria lain. Absurd? Sangat. Serial pendek Sore: Istri dari Masa Depan (2017) yang menjadi cikal bakal film ini pun menampilkan premis serupa: Jonathan didatangi perempuan yang mengaku istri masa depannya. Lalu, Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode (2018) menghadirkan pasangan Satrio dan Ayu yang tiba-tiba bisa mendengar suara hati satu sama lain tanpa bicara. Pola ini jelas: romansa sebagai inti, fantasi absurd sebagai kendaraan. Itulah ciri khas Yandy.
Namun, absurditas dalam karya Yandy bukan sekadar gimmick untuk mengejutkan. Fantasinya adalah fondasi, tulang penyangga metafora dan pesan yang ingin disampaikan. Ia tidak meminta penonton untuk mempercayai kemustahilan secara harfiah, melainkan untuk menanggalkan logika sejenak demi membiarkan imajinasi meresap ke wilayah emosi dan psikologis yang sulit diungkapkan dengan narasi realis. Ketika logika gagal menangkap kompleksitas batin manusia—kegelisahan eksistensial, kerinduan mendalam, atau kehampaan yang menganga—Yandy menggunakan bahasa fantasi yang menantang konvensi. Inilah kekuatan gaya berceritanya yang langka dan berharga dalam lanskap sineas Indonesia. Ia tidak sekadar menceritakan cinta; ia membedahnya dengan absurditas, mengolahnya, dan menyajikannya dengan cara yang memaksa kita merasakan lebih dalam, meski akal masih mengernyit. Di dunia Yandy, yang “tak masuk akal” justru seringkali jadi yang paling “masuk di rasa.”
Kembali ke Sore: Istri dari Masa Depan, bagi penonton setia versi web series-nya, adegan pembuka film ini mungkin terasa seperti pertemuan kembali dengan kenangan lama namun disempurnakan oleh bahasa visual yang lebih kaya dan bernuansa. Penggantian lokasi syuting dari Italia ke Kroasia dan Finlandia bukan sekadar peningkatan anggaran semata, melainkan pilihan artistik yang cerdas. Lanskap megah Kroasia dengan garis pantainya yang dramatis dan Finlandia yang dingin, sunyi, serta diselimuti salju, bertransformasi menjadi karakter pendukung yang bisu namun sangat vokal.
Lihatlah bagaimana kamera menangkap Jonathan sendirian di tengah hamparan es Finlandia yang tak bertepi. Shot ultra-wide angle membuatnya seperti titik kecil di tengah kosmos yang membeku. Komposisi semacam ini bukan sekadar indah secara estetis; ia adalah metafora visual yang jitu untuk isolasi eksistensial dan kegamangan batin sang tokoh. Dinginnya udara terasa menusuk lewat layar, sejajar dengan kebekuan emosi Jonathan. Kontrasnya, adegan-adegan intim mereka di gang-gang sempit kota tua Eropa, dengan palet warna earthy tones yang hangat, cahaya temaram dari jendela kafe, dan shallow depth of field yang mengaburkan latar, menciptakan enclosure emosional. Ruang sempit justru terasa manusiawi, menjadi inkubator bagi hubungan Jonathan dan Sore yang perlahan mencair.
Kepekaan pendekatan sinematografinya terletak pada ritme visual yang selaras dengan narasi. Adegan-adegan grand landscape yang dingin dan melankolis (sering menggunakan static shots atau slow panning) memberi ruang bagi penonton untuk merenung, merasa hampa. Sementara, momen-momen keintiman dibingkai dengan handheld shots yang sedikit bergoyang, close-up pada ekspresi mikro, dan komposisi over-the-shoulder, membuat setiap percakapan remeh-temeh tentang kebiasaan Jonathan terasa personal dan autentik. Hubungan mereka tidak lahir dari grand gesture melodramatis, tapi dari akumulasi detil kecil yang direkam kamera dengan penuh kesadaran: cara Sore memberikan buah ke Jonathan tanpa bertanya, tatapan Jonathan yang lama tertahan saat Sore membelakanginya, atau senyum kecil yang reflektif di tengah percakapan tentang masa depan yang belum terjadi.
Sinematografi Sore tidak sekadar mendokumentasikan cerita; ia menghirup napas lanskap, mengubahnya menjadi geografi emosi, dan menjadikan setiap frame sebagai cermin yang memantulkan pergulatan antara takdir dan kehendak bebas. Keindahannya memukau, tetapi juga menusuk. Persis seperti paradigma cinta yang diusung film ini. Bahkan keheningan salju Finlandia pun bersuara lantang.

Sekali lagi, bagi penonton setia web series-nya, perjalanan Jonathan menuju keyakinan akan kehadiran “istri dari masa depan”-nya memang terasa seperti deja vu. Ya, dalam hal plot, bagian awal film ini memang tidak mendobrak struktur dasar yang sudah dibangun di serial 2017. Sore muncul sebagai manifestasi masa depan yang utuh. Ia hafal ritual pagi Jonathan, tahu rahasia masa lalunya yang kelam, bahkan merancang terobosan konsep foto untuk pamerannya yang mentok itu. Kepercayaan Jonathan tumbuh secara organik, bukan lewat keajaiban instan, melainkan akumulasi bukti-bukti kecil yang meruntuhkan tembok skeptisismenya. Dan seperti yang kita tahu, misi Sore jelas: mencegah Jonathan membuat pilihan destruktif di masa kini yang akan mengikis masa depan mereka.
Di titik ini, penonton versi series mungkin bertanya: Apa yang baru dari versi layar lebarnya? Tapi tenang, jangan terburu-buru menarik kesimpulan. Kesetiaan pada alur series ternyata bukan pengulangan yang mandul, melainkan fondasi untuk membangun rumah karakter yang lebih kompleks. Dan ketika adegan-adegan baru yang tak ada di versi serial mulai menyapa, perbedaan itu terasa lebih menusuk, karena ia bertumbuh di atas tanah subur yang sudah dipersiapkan dengan begitu rinci. Sampai di sini, film mungkin belum melesat jauh dari source material-nya, tapi ia sudah membuktikan: kadang, yang kita butuhkan bukan belokan baru di jalan, melainkan pendakian yang lebih curam untuk melihat pemandangan yang sama dari ketinggian berbeda.
Mempermainkan Waktu Sebagai Pisau Bedah
Film mulai melesat di adegan malam saat kebuntuan Jonathan akan konsep pamerannya merayap lebih dalam dari dinginnya udara Eropa. Kamera mengintai seperti mata yang waspada, menangkap langkahnya yang mengendap menjauhi rumah dan Sore. Godaan rokok bukan sekadar pelarian, melainkan palu godam yang menghancurkan tembok kepercayaan. Ketika asap membumbung dalam kegelapan, Sore sudah berdiri di belakangnya: matanya menyipit, bukan marah, tapi hancur oleh nubuat pengkhianatan yang ia bawa dari masa depan. Lalu, pengakuan itu meledak, “Delapan tahun lagi, kamu mati. Serangan jantung,” seakan membongkar alasan inti kedatangannya dari masa depan.
Jonathan bersembunyi di balik argumen manusiawi: “Perubahan butuh proses!” Sore menyergapnya dengan ledakan kepedihan: “Aku pernah mencobanya, dan kamu tetap tak bisa berubah!” Darah pun mengucur dari hidungnya, merah menyala di atas pucatnya keputusasaan sebelum tubuhnya ambruk. Di series, inilah akhir: Sore menghilang selamanya. Tapi di film, Yandy Laurens menggenggam takdir itu lalu memelintirnya menjadi spiral waktu yang patah.
Adegan demi adegan dari awal film berputar balik seperti pita kaset yang rusak. Cepat, terdistorsi, dihujani visual glitch yang mengoyak frame. Ini bukan nostalgia; lagi-lagi ini deja vu yang menggemaskan sekaligus mengerikan. Time loop telah dimulai. Di titik inilah film melepaskan diri dari bayang-bayang web series. Sore tidak lenyap; ia terlempar kembali ke titik nol, terjebak dalam siklus identik. Skoring-nya mendukung: musik menegangkan menyatu dengan detak jantung penonton, lalu terpotong mentah-mentah oleh keheningan saat Sore membuka matanya di samping Jonathan persis seperti di adegan pertemuan awal.
Di sinilah Sore membelah konvensi film waktu. Tak seperti The Time Traveler’s Wife yang meromantisasi perjalanan waktu sebagai kutukan biologis, atau About Time yang menjadikan time loop alat komedi untuk menata hidup, darah dari hidung Sore adalah retakan di dinding realitas. Kepulangannya ke “hari pertama” bukan kebetulan, tapi seperti hukuman kosmik bagi dua jiwa yang gagal. Jonathan gagal berubah. Sore gagal menyelamatkan. Alam semesta memaksa mereka mengulangi dosa, seperti pasangan yang terjebak dalam tarian saling menyakiti dan memaafkan tanpa ujung. Dari sini, film tak lagi mempertanyakan asal-usul Sore. Ia menggali lebih dalam: “Berapa kali kita harus hancur berkeping-keping sebelum akhirnya belajar?”
Jawabannya ternyata getir: “berapa kali” itu tak berujung. Sore terus gagal, terus terhempas kembali ke titik nol begitu darah menghiasi hidungnya. Kekosongan jawaban inilah yang diam-diam diselipi konsep dunia paralel. Bukan lewat dentuman teori multiverse ala Interstellar, tapi lewat bisikan “garis waktu alternatif”. Setiap intervensi Sore di masa lalu adalah upaya membelokkan nasib: mengubah gaya hidup Jonathan, mengungkap rahasia masa depan, menggoyah keyakinannya. Ini murni terjadi atas dorongan untuk menciptakan efek kupu-kupu.
Bagaimanapun, Sore: Istri dari Masa Depan tetaplah film yang menggunakan elemen permainan waktu untuk menggugat konsep takdir dan pilihan hidup. Faktanya film ini coba mengeksplorasi bagaimana tindakan Sore di masa lalu mempengaruhi hubungan dan kehidupan Jonathan, menciptakan dinamika yang menyerupai butterfly effect. Dalam konteks dunia paralel, konsep ini bisa diartikan sebagai percabangan realitas di mana setiap keputusan atau intervensi menghasilkan dunia baru dengan konsekuensi tak terduga.
Namun, sejalan dengan masuknya konsep dunia paralel, film ini dengan sengaja berusaha menghindari jargon ilmiah. Konsep dunia paralel di sini bukan mesin rumit, melainkan metafora getir tentang takdir versus pilihan. Sore adalah agen perubahan yang berjuang menciptakan “dunia” alternatif bagi Jonathan, dunia di mana ia tak mati muda. Tindakannya semata mencerminkan keyakinan purba: Setiap keputusan bisa melahirkan versi lain kehidupan kita.
Film ini memang tampak tak ingin terjebak dalam kompleksitas teknis sains yang ruwet. Konsep time travel-nya disederhanakan sekadar alat penggerak konflik romantis dan pengembangan karakter. Fokusnya pada dampak emosional dari pengetahuan masa depan terhadap hubungan di masa kini dan pertanyaan filosofis tentang takdir versus pilihan bebas. Ini menjadi kekuatan sekaligus tantangan. Menarik bagi penonton yang menyukai drama karakter, tetapi mungkin kurang memuaskan bagi penggemar science fiction murni.
Kekuatannya Justru Terletak pada Kesederhanaan
Sore: Istri dari Masa Depan telah membuktikan diri sebagai adaptasi layar lebar yang memperdalam luka dan luminositas versi web series aslinya. Keberhasilannya terpancar dari chemistry mematikan Dion Wiyoko dan Sheila Dara Aisha, dua tubuh yang menghidupkan tarian rusak Jonathan dan Sore yang seolah ditakdirkan untuk saling melukai. Di bawah arahan Yandy Laurens yang setia pada nadi karakter, setiap frame bukan hanya pemandangan indah, melainkan cermin retak hubungan mereka: gemuruh angin yang menenangkan, kota yang memburu bagai detak jantung gelisah, dan kamar sunyi yang menjadi saksi bisu kegagalan berulang.
Sebagai film romantis bertema perjalanan waktu, Sore menolak jadi sekuel bagi The Time Traveler’s Wife atau About Time. Ia memilih jalur lain dengan mengubah mesin waktu menjadi pisau bedah yang membedah hubungan, bukan alat spektakel. Kekuatannya justru terletak pada kesederhanaannya. Ketegangan datang bukan dari paradoks temporal, tapi dari bisikan Sore yang menggugat takdir: “Jika aku bisa hidup sepuluh ribu kali, aku berharap akan tetap memilihmu.”
Kalimat itu, yang menggema seperti mantra sekaligus kutukan, adalah kunci seluruh film. Di balik visual memukau dan akting yang menghunjam, ia mengungkap kebenaran pahit: cinta di dunia Sore adalah penjara waktu tanpa kunci. Pilihan “sepuluh ribu kali” bukan romantisme, melainkan pengakuan tragis bahwa dua jiwa ini terkutuk untuk mengulang. Bukan karena takdir semata, tapi karena ketakberdayaan mereka melepaskan pola kehancuran sendiri.
Meski konsep waktunya tak pernah dijelaskan sempurna, film ini justru sukses di tempat yang lebih penting: ia menggurita di benak penonton sebagai kisah tentang pilihan tanpa pilihan. Tentang manusia yang terjebak dalam lingkaran dosa dan maaf, terpesona oleh bayangan masa depan yang mengancam, namun tak kuasa mengubah diri di saat kini. Sore mungkin tak memuaskan dahaga akan logika fiksi ilmiah, tetapi sebagai potret cinta yang terperangkap dalam retakan waktu, ia adalah mahakarya yang getir dan tak mudah dilupakan.
Saat lampu bioskop menyala, yang tersisa di akhir hanyalah gaung sebuah pertanyaan: Benarkah “memilihmu” adalah bukti tanda cinta atau justru teriakan minta tolong dari dua jiwa yang terlambat memahami eksistensi waktu dan diri mereka sendiri?
—–
Hidayat Adhiningrat P.
Lahir di Bandung dan kini memutuskan tinggal dan bekerja di Jakarta. Sehari-hari mengisi hidup dengan menjadi kuli tinta. Memiliki minat terhadap kesenian dalam kapasitas sebagai penulis dan penonton. Kadang menonton film, kadang datang ke pameran, kadang menonton seni pertunjukan, kadang ikut diskusi kesenian, kadang ikut workshop penulisan ulasan.
