Still Foto dari Film Sawo Matang

Dalam dunia paralel ala Andrea Nirmala, ketegangan antara pribumi dan etnis Tionghoa pada masa Orde Baru direproduksi ke masa kini dengan latar dunia distopia penuh dengan benturan identitas. Dalam Sawo Matang, diceritakan Nala, seorang siswi pribumi, hidup sebagai minoritas di lingkungan di mana etnis Tionghoa adalah mayoritasnya. Tentu, judul Sawo Matang merujuk pada warna kulit Nala yang berbeda dengan teman-teman di sekolahnya. Melalui karakter Nala, Andrea mengadopsi pengalamannya di bangku SMA sebagai pribumi diantara teman-temannya yang beretnis Tionghoa. 

Sejak film dibuka, penonton sudah disuguhi teks prakata yang mengindikasikan bahwa dunia yang disajikan dalam film akan memisahkan strata pribumi dengan keturunan Cina. Andrea dengan terbuka mengatributkan etnisitas pada karakter-karakter dalam filmnya sebagai ‘penanda’ yang secara sistematis membedakan antara ‘kami’ dan ‘mereka’ sekaligus alat politik yang mempertegas batas-batas sosial. Andrea merekayasa sebuah dunia yang dihantui konsekuensi dari sebuah sistem yang memaksa individu untuk hidup di bawah konstruksi sosial yang tidak mereka pilih, tetapi yang harus mereka patuhi. Andrea memberikan satu misi pada Nala dalam dunia ini, yaitu mematuhi peraturan yang ada bagi pribumi agar haknya untuk bersekolah tidak dicabut. 

Sawo Matang mengambil kesempatannya untuk menjual konflik sosial yang paling mudah meledak di negara seperti Indonesia, yaitu konflik berdasarkan kemajemukan etnis. Bagi penonton Barat yang tak akrab dengan kompleksitas budaya di sejarahnya, konsumsi film ini ibarat menyantap hidangan eksotis yang disajikan dengan lapisan-lapisan kompleksitas budaya yang mereka anggap memenuhi ide ke-“timur”-an di benak mereka. Wacana pengeksotisan ketegangan antara pribumi dan komunitas Tionghoa dalam film ini menawarkan pandangan yang lebih intim serta menggambarkan nuansa dan pengalaman lokal yang tidak familiar dalam high culture yang kaum Eropa anut. Tak heran, film ini begitu diterima di berbagai festival film internasional bergengsi seperti Toronto International Film Festival, London Short Film Festival, dan Montclair Film Festival. Jika ada kompas yang mengukur seberapa “timur” dan “woke” film ini, jarumnya pasti akan berputar tanpa henti, tersesat di antara ribuan arus makna yang saling bertubrukan tanpa pernah menemukan utara yang jelas.

Bias etnis yang diinstitusionalisasi dalam dunia Sawo Matang sangat identik dengan kebijakan pemisahan ras yang diterapkan pada masa kolonial Belanda, ketika VOC menetapkan pemukiman khusus dan izin perjalanan bagi etnis Tionghoa, mitra dagang mereka. Kebijakan ini selanjutnya diwarisi oleh pemerintah Indonesia, termasuk pembatasan aktivitas keagamaan dan adat Tionghoa serta aturan perubahan nama agar lebih ‘Indonesia’. Leo Suryadinata dalam buku Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia mencatat bahwa pemerintah Indonesia memanfaatkan peran komunitas Tionghoa untuk menarik investor asing dalam rangka memajukan berbagai proyek pembangunan pasca kemerdekaan dan tercapainya kekuasaan politik pada tahun 1949. Dominasi pihak asing menciptakan kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi, yang memicu gerakan anti-asing dan sentimen anti-Tionghoa. ‘Keistimewaan’ bagi warga keturunan Tionghoa sering kali disalahkan sebagai pemicu kesulitan ekonomi yang dialami oleh mayoritas penduduk Indonesia pada masa tersebut. Puncaknya, tragedi kerusuhan Mei 1998 meninggalkan luka moral mendalam bagi etnis Tionghoa (Permana, 2018).

Diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa mencerminkan kesenjangan antara cita-cita nasionalisme dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa Orde Baru, nasionalisme sering digunakan sebagai alat untuk melanggengkan tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Narasi anti Tionghoa digunakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah internal dan meredam potensi ketidakpuasan politik dengan menciptakan musuh bersama. Dalam karyanya yang berjudul Komunitas Terbayang, Benedict Anderson menuliskan studi kasus mengenai nasionalisme Indonesia, bahwa Indonesia adalah sebuah komunitas politis bayangan. Bahwa sebenarnya identitas nasional Indonesia terbentuk melalui proses pembayangan kolektif yang melibatkan banyak individu yang belum pernah berinteraksi langsung, tetapi merasa terhubung melalui gagasan-gagasan bersama tentang nasionalisme, patriotisme, dan loyalitas terhadap negara. Bahwa sebenarnya entitas Indonesia sebagai bangsa adalah konstruksi sosial hasil dari propaganda (Anderson, 2008). Dalam upaya untuk menciptakan satu “bayangan” atau “komunitas politik” Indonesia yang bersatu, ada kecenderungan untuk menekankan atau bahkan menindas identitas etnis atau budaya minoritas yang dianggap tidak sesuai dengan narasi nasional. Kebijakan asimilasi, diskriminasi hukum, dan stereotip negatif terhadap komunitas Tionghoa adalah contoh bagaimana nasionalisme Indonesia sebagai “komunitas politis bayangan” dapat berdampak pada minoritas etnis tertentu, bahkan hingga sekarang (Anggraini, 2015).

Salah satu unsur dalam Sawo Matang yang juga identikal dengan masa kolonial Belanda adalah praktik babi ngepet. Nala, seorang remaja ceria yang sering berulah bersama gengnya, bukanlah siswi paling cemerlang, tapi hatinya cukup besar bagi mereka yang menerima dirinya. Kenaifannya dimanfaatkan oleh Kai, yang mendorong Nala menawarkan opsi ngepet, sebuah pilihan yang tampak tak masuk akal keluar dari seorang siswi SMA, namun terasa masuk akal mengingat status kepribumiannya. Ngepet merupakan simbol keputusasaan dan inferioritas masyarakat pribumi pada masa penjajahan Belanda untuk memperoleh kekayaan dengan cepat. Indische Staatsregeling pada tahun 1855 mengklasifikasikan penduduk Indonesia menjadi orang Eropa yang menempati posisi tertinggi, Etnis Tionghoa termasuk dalam golongan Timur Asing, menempati strata kedua, sementara Pribumi berada di lapisan terbawah. Nala dibuat terperangkap dalam bayang-bayang subordinasi seperti pada masa kolonial Belanda, memikul beban sebagai sosok yang harus melintasi batas kewarasan demi secuil pengakuan dari Kai—seorang keturunan Tionghoa yang berdiri di tangga sosial lebih tinggi. 

Dalam dunia Sawo Matang, identitas Nala sebagai pribumi merupakan hibriditas yang lahir dari proses mimikri kaum subaltern pada dunia nyata, yaitu etnis Tionghoa. Identitas karakter Nala dan kaum pribumi lainnya adalah hibrida yang sengaja dimunculkan sebagai hasil dari interaksi antara budaya pribumi dan Tionghoa setelah periode kolonial, menciptakan identitas sosial, budaya, dan politik baru yang tereduksi. Bahayanya, pereduksian dapat mengaburkan perbedaan dan nuansa yang ada di dalam kelompok etnis atau budaya tertentu, sehingga menciptakan representasi yang dangkal atau stereotip tanpa memperhatikan kompleksitas yang sebenarnya dari keragaman internal kelompok tersebut yang membangun dinamika budaya dan politik yang ada. Tatkala imajinasi yang liar itu dihayati sebagai kenyataan, maka kenyataan yang sesungguhnya tidak tersentuh. Alih-alih menjadi agen lintas budaya yang menentang norma dan nilai-nilai yang diperkenalkan oleh kelompok dominan penindas, film ini justru melanggengkan stereotip negatif pada kelompok terpinggirkan. Lantas, apakah mereduksi ke-multidimensi-an masalah etnis ke dalam cerita fiksi adalah praktik yang etis? 

Film diakhiri dengan Nala yang ditangkap oleh pihak berwajib akibat gagal ngepet. Nala dikurung dalam suatu suaka yang menyerupai kebun binatang, namun untuk manusia pribumi. Suatu waktu, teman-teman sekelas Nala mengunjungi suaka tersebut dan menonton Nala seperti sebuah atraksi dari balik kaca. Sementara itu, Kai dapat melanjutkan hidupnya seperti biasa. Entah film ini menyajikan dirinya sebagai apa. Jika film ini hendak menggambarkan proses moral atau hukum untuk mengungkap kebenaran tentang kejahatan atau ketidakadilan yang terjadi di masa lalu dengan konsep retrospective justice, film ini berhasil melemparkan bumerang ke dirinya sendiri. Mencampuradukkan antara fiksi dan realitas dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam naratif, di mana satu kelompok diidealisis atau didemonisasi tanpa memperhitungkan kerumitan atau nuansa dalam hubungan antar-kelompok. Dengan memfokuskan naratif pada peran yang diputarbalikkan hanya akan mengacaukan daya cerna penonton. 

Film Sawo Matang adalah sebuah karya yang melampaui apapun kategori yang dimaksud pembuatnya; ia bermain-main di ranah ketegangan identitas, etnisitas, dan politik sosial dengan cara yang begitu licin hingga sulit dipaku dalam satu kerangka pemahaman. Sawo Matang telah kehilangan kendali akan fokusnya pada isu-isu sosial yang mendasari ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Pada akhirnya, cerita Andrea hanya berakhir menjadi artefak naratif yang menghiasi museum kegagalan dalam membaca sejarah secara utuh dan nondikotomis. 

Referensi

Permana, Budi. 2018. Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru: Studi Atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa di Jakarta (1998). Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 

Anderson, Benedict. 2008. Imagined Community: Komunitas-komunitas. Terbayang. Yogyakarta: Insist Press.

Anggraini, S. N. 2015. Kajian Postkolonial atas Identitas Ketimuran dalam Pengaruh Asing pada Film Terang Boelan. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia.