Karena telah mengaguminya sejak diajak teman nonton Selamat Pagi, Malam; berjumpa di layar alternatif lewat The Fox; dan kembali dibuat melankolis lewat Galih dan Ratna.
Hai Lucky Kuswandi,
Setelah mengikuti film-film anda sebelumnya, dipertemukan kembali lewat Galih dan Ratna membuat saya semakin mengagumi anda. Bagi saya, Galih dan Ratna bukan sekadar film yang after taste-nya hilang begitu saja setelah menonton, bukan pula sekadar sebuah hiburan. Galih dan Ratna punya efek menohok emosi secara personal. Ia berhasil mengaduk-ngaduk perasaan dan membuat saya tidak berhenti gelisah sampai saya berhasil menuliskan surat ini.
Galih dan Ratna Tipikal Anak SMA: Naif, Penuh Harap, Tidak Pikir Panjang
Cerita Galih dan Ratna sejatinya sederhana saja. Premisnya saja kurang lebih hanya begini: sepasang kekasih yang berusaha menggapai mimpi masing-masing walau terhantam berbagai rintangan. Namun, lewat pembangunan cerita yang perlahan namun pasti dan penuh detil, film ini menjadi punya fondasi yang kuat.
Karakter Galih dan Ratna punya mimpi yang tinggi, yang coba mereka bangun dengan penuh optimis. Galih terhadap toko kaset peninggalan ayahnya, Ratna terhadap mimpinya menjadi penyanyi. Dengan prinsip keduanya yang kira-kira, “bisa kok! Dengan doa, usaha, dan sedikit bakat, pasti bisa,” saya sebagai penonton hanya tersenyum geli terhadap kenaifan keduanya. Menariknya, film ini tidak berjalan mengikuti harapan mereka dan beres begitu saja dengan sebuah happy ending. Kenaifan itu justru dibenturkan langsung dengan kepahitan realita: nilai akademik, restu orang tua, kondisi ekonomi.
Pembawaan masalah pun dilakukan secara bertahap sampai akhirnya mencapai puncak. Persoalan pertama untuk Galih muncul ketika hasil ujiannya tidak baik dan membuatnya dipermalukan di depan kelas. Walaupun Galih mulai cemas, ia masih menyimpan harapan. Toh, renovasi tokonya berjalan dengan baik dan teman-teman sekolahnya senang akan mixtape buatannya.
Persoalan kedua yang lebih berat lah yang baru betul-betul menghantamnya: Galih dicabut beasiswanya, orang tua yang kecewa, pacar yang berbohong, momen kesadaran bahwa beban ekonomi keluarga ada di pundaknya. Di tahap inilah Galih seperti kehilangan alasan untuk mempertahankan mimpinya, hingga menjadi wajar ketika ia memilih jalan yang lebih realistis.
Keputusan yang diambil karakter Galih dan Ratna juga begitu lekat dengan latar belakang mereka masing-masing. Seperti bagaimana dukungan dari orang-orang terdekat dan latar belakang ekonomi begitu berpengaruh terhadap keputusan akhir yang dibuat masing-masing karakter. Galih ditekan oleh orang tuanya dan gurunya. Bahkan dukungan yang diberikan Ratna ternyata fana. Hal ini berbeda dengan Ratna yang di masa-masa frustrasinya masih mendapat dukungan dari teman-teman dekat dan tantenya.
Dari segi ekonomi, walau keduanya dalam mental terpuruk, namun beban dan tanggungjawab yang diampu Ratna tidak sebesar Galih. Ratna hanya bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, yang masih disokong oleh orangtuanya yang mapan. Sementara Galih bertanggungjawab bukan hanya terhadap masa depan dirinya, tetapi juga kelangsungan hidup ibunya dan masa depan adiknya. Lantas menjadi wajar Galih memilih jalan yang lebih aman, sementara Ratna masih dapat mempertahankan idealismenya.
Dari yang awalnya begitu naif, kemudian dihempas, lalu diberikan rintangan yang nyata. Galih dan Ratna sama-sama tumbuh dewasa. Ketika Ratna kemudian bernyanyi, “masa remaja punahlah sudah…” memang betul begitulah pengalaman yang mereka rasakan. Lantas, bagaimana tidak saya ikut hanyut dan merasa sesak?
Transisi Kereta dan Kedekatan Personal
Lucky Kuswandi yang sekali lagi saya kagumi, bayang-bayang kereta di setiap momen penting dalam film menjadi suatu misteri bagi saya. Apakah hanya menjadi sebuah transisi? Atau sebuah pengingat bahwa gerbong-gerbong berisikan momen ini akan berlalu juga?
Yah, maaf jika sekian paragraf ke belakang ini seperti meracau, tetapi sesungguhnya terdapat hal-hal di luar topik utama yang turut membuat film ini membekas bagi saya.
Ketika orang-orang mempertanyakan keganjilan-keganjilan film seperti paras pemainnnya yang terlihat terlalu tua untuk memainkan tokoh SMA, atau paras Galih yang terlalu ganteng dengan baju yang terlihat mahal untuk seseorang yang kurang mampu secara ekonomi, menjadi lucu karena justru film ini berhasil menggambarkan realita yang ada dengan begitu tepat sasarannya. Hal ini menjadi sentilan menarik untuk film-film lain tentang kisah cinta remaja, bagaimana kulit film dapat dikemas menjadi begitu indah, namun ternyata cacat dalam segi pengembangan cerita. (Ya sudah lah)
Saya pikir yang membuat cerita di film ini menjadi mudah sekali diterima adalah karena kedekatan anda sendiri terhadap beberapa aspek pada ceritanya (ini sudah ke-sok-tahuan yang keberapa, ya?) Ketika Selamat Pagi, Malam menghadirkan tokoh yang mengalami culture shock setelah kembali ke Jakarta setelah tinggal lama di NY, Galih dan Ratna menjadikan Amerika sebagai tempat melanjutkan studi. Mungkin keduanya hanya kebetulan, tetapi mungkin juga disengaja.
Awalnya, ada kebingungan dan keraguan ketika saya mengetahui Galih dan Ratna disutradarai oleh anda. Apa yang akan anda angkat dari sebuah film mengenai cinta monyet remaja? Yah, ternyata tidak jauh berbeda dengan film-film anda yang lain: membawanya menjadi personal. Masalah mimpi, mempertahankan idealisme, berkutat dengan realita. Bahkan rasa kesepian yang hadir ketika shot lanskap kota muncul di Galih dan Ratna terasa familiar, seperti menonton kembali Selamat Pagi, Malam.
Penutup
Lucky Kuswandi yang saya betul-betul kagumi, tiba lah di penghujung surat cinta ini. Saya ingin menyampaikan bahwa menonton Galih dan Ratna adalah upaya bagi saya untuk kembali merasa, seperti bagaimana Selamat Pagi, Malam dahulu mengobati perasaan saya yang kebas (jadi, tolong rilis DVD-nya, ya!)
Karena itu, saya mengucap syukur dan terima kasih atas pengalaman berharga yang anda berikan.
Salam Hangat,
Dinda
P.S.
Saya menyukai singgungan-singgungan kecil terhadap isu populer yang turut hadir: Mimi dan keberpihakannya terhadap kaum marjinal, Lisa dan upayanya melawan patriarki, Pak Dedy sebagai representasi hasil didikan Orde Baru. Sikap Pak Dedy yang menegur Lisa sebagai “perempuan nakal” karena memakai rok pendek juga menarik, karena di saat yang sama ia membiarkan perkelahian antar-perempuan berlangsung tak jauh dari sana. Mungkin hal ini tidak terlalu relevan dengan cerita utama, namun merupakan sebuah kritikan yang penting, menjadikannya bahan tertawaan yang menohok.