Film pendek seringkali diputar berbarengan, bisa dua sampai lima film dalam satu sesi pemutaran. Selain karena masalah durasi, umumnya ada tema-tema tertentu yang juga ingin diusung. Gagasan suatu film bisa jadi akan lebih kena ketika setelahnya diputarkan pula film lain dengan gagasan serupa. Namun, apa definisi dari program yang ngena itu sendiri? Bagaimana posisi pertanggungjawaban film yang termasuk dalam rangkaian program? Apakah program bisa juga dikritik, seperti film selama ini dikritik?
Ganesha Film Festival yang diselenggarakan pada tanggal 23-25 Februari 2018 lalu menayangkan program yang berjudul “Behind Closed Doors”, yang mana film-filmnya terdiri dari Happy Family karya Eden Junjung, Isiin Bapak Pulsa karya Mulki Santosa, dan Kleang Kabur Kanginan karya Riyanto Tan Ageraha.
Ketiga film ini berbicara mengenai keluarga dengan inti permasalahan kurang lebih sama: sanak keluarga yang merasa kehilangan anggota keluarganya yang pergi merantau. Pada Happy Family, si anak kerap tidak mengangkat telepon dari bapaknya, sehingga sang bapak memutuskan untuk mencari keberadaan anaknya di luar kota. Kleang Kabur Kanginan juga sama-sama menggambarkan kegigihan sang orangtua untuk menghubungi anaknya, tetapi ditambah dengan penggambaran si bapak yang berharap besar akan kesuksesan anaknya. Adegan ini kemudian dianalogikan dengan layang-layang—yang jika dibiarkan terlalu tinggi, ia akan lepas dari genggaman.
Jika Happy Family dan Kleang Kabur Kanginan fokus pada kisah orangtua yang mencari anaknya, Isiin Bapak Pulsa melihat dari sisi yang berbeda, yaitu justru si anak yang mencari bapaknya. Si anak sesungguhnya tidak tahu siapa ayahnya, tidak pernah pula diberi kabar. Film memanfaatkan kepolosan seorang anak yang menganggap sms dari nomor tak dikenal dengan tulisan “bapak minta pulsa” berasal dari si bapak.
Ketiga film pada program ini seakan mempunyai motif yang sama: berusaha menarik simpati terhadap pihak-pihak yang ditinggalkan. Kita bisa dengan mudah merasa iba terhadap si bapak pada Happy Family, yang saking bersusah payahnya mencari anaknya, mesti tidur malam-malam di emperan toko, hanya beralaskan selembar kardus. Begitu pula ketika karakter bapak dan ibu pada Kleang Kabur Kanginan yang perlu susah-susah mendaki gunung untuk mencari sinyal, berharap anaknya akan menelepon. Penonton kemudian merasa semakin diris-iris hatinya membayangkan menjadi sosok orang tua pada film ini, melihat si bapak mesti meminta tolong seorang penjual provider kartu SIM untuk berpura-pura menjadi anaknya demi meredam kecemasan sang ibu.
Sayangnya, tidak ada satu pun film pada program ini yang mengeksplorasi masalah merantau dan kehilangan ke arah yang lebih luas. Misalnya, apa aktivitas yang dilakukan si anak saat merantau? Nilai-nilai moral macam apa yang dianut oleh si tokoh orang tua? Apakah ada perbedaan dengan nilai-nilai yang dianut sang anak? Bagaimana relasi orangtua dan anak dalam film? Dari pertanyaan-pertanyaan ini, program bisa berlanjut memberikan pengertian yang proporsional terhadap prinsip-prinsip yang dianut masing-masing tokoh.
Di satu sisi, memang Happy Family juga menunjukkan perspektif sang anak. Ia diperlihatkan sedang melayani pelanggan sebagai pemijat plus-plus. Sepulangnya dari tempat kerja, sang anak memakai pakaian tertutup yang menyelimuti seluruh aurat, termasuk menutup wajah dengan cadar. Tentu caranya berpakaian memberikan implikasi bahwa ia adalah penganut Islam yang taat. Kekontrasan antara cara berpakaian dan pekerjaannya memberi kita petunjuk mengapa ia enggan untuk menghubungi balik bapaknya. Film berakhir dengan menunjukkan keironisan tersebut, tanpa memberikan pemahaman lebih tentang alasan dibalik keputusan si anak memilih profesi tersebut. Akhirnya, film jadi sekadar meromantisir masalah, bukan menjabarkan kompleksitasnya.
Pemilihan Film, Pertanggungjawaban Program
Film pendek punya durasi yang terbatas, umumnya tidak lebih dari 60 menit. Bahkan, film pendek fiksi umumnya berdurasi tidak sampai 20 menit. Karena itu, fokus wacana seringkali padat dan tidak bercabang-cabang. Menjadi tidak adil jika sebuah film dituntut untuk berbicara hal-hal di luar kerangka pikir yang telah terbentuk, toh eksplorasi satu segi cerita saja sudah membutuhkan durasi yang panjang.
Berbeda cerita lagi dengan programasi film. Ketika mengusung suatu wacana, programasi jadi punya kewajiban untuk menunjukkan kedalaman masalah atau memperlebar perspektif—setidaknya agar premis program bisa dipertanggungjawabkan. Berusaha untuk relevan dengan memperhitungkan konteks sosial, politik, dan budaya juga menjadi penting. Programasi dipandang layaknya sebuah tulisan: punya gagasan, argumentasi, dan kesimpulan.
Film Happy Family memang terkesan sekadar meromantisir masalah perantauan. Namun, program akan punya cerita berbeda jika film ini disandingkan dengan film-film lain yang punya sudut pandang berbeda. Ambil contoh film Eliana, Eliana (Riri Riza). Jika Happy Family menggambarkan rasa khawatir dan keterasingan seorang bapak terhadap hidup anaknya, Eliana, Eliana mengonfrontasi itu dengan mempertemukan Eliana dan ibunya. Masalah akhirnya menjadi lebih jelas, tidak ada pihak yang lebih patut dikasihani dibandingkan pihak lainnya.
Begitu pula dengan film Isiin Bapak Pulsa. Jika film ini berbicara dari perspektif anak yang kehilangan sosok bapak dalam hidupnya, maka ada film Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja) yang bisa memberikan alasan kenapa si bapak pergi dari hidup sang anak.
Sebagai perbandingan, Babibutafilm dan Kolektif pernah mengadakan kumpulan program bertajuk “Mengalami Kemanusiaan” yang diputar di Kineforum. Salah satu programnya terdiri dari film Sendiri Diana Sendiri (Kamila Andini) dan Cleaning The Fish (Myrna Pohan). Keduanya menunjukkan intrik kehidupan berumah tangga dari sudut pandang sang istri.
Dalam Cleaning The Fish, sang istri merasa jenuh akan rutinitasnya yang monoton sebagai ibu rumah tangga: membersihkan rumah, menyiapkan makan dan pakaian untuk suami berangkat kerja, menyambut suami pulang kerja. Lewat percakapan antara si perempuan dan ibunya, perempuan dianggap telah mencapai puncak kesuksesan ketika telah berumah tangga.
Jika Cleaning The Fish sekadar menghadirkan sosok istri yang jenuh akan rutinitas sehari-harinya, Sendiri Diana Sendiri berbicara lebih jauh dengan menunjukkan sumber masalahnya: suami yang berpoligami tanpa persetujuan sang istri dan keluarga besar yang justru menyalahkan sang istri atas perbuatan poligami suaminya. Film ini kemudian menunjukkan bagaimana upaya Diana berkutat dan melawan sistem patriarki yang menekannya sebagai perempuan.
Cleaning The Fish memaparkan permasalahan seorang ibu rumah tangga secara umum, tanpa konteks masalah yang spesifik. Sendiri Diana Sendiri membuat program menjadi satu paket lengkap dengan menunjukkan contoh kasus riil. Alih-alih sekadar berkutat pada kesulitan-kesulitan yang dialami tokoh istri dan meromantisir masalah, program juga punya sikap yang jelas dengan: (1) mempertanyakan relevansi dapur, sumur, kasur sebagai fungsi istri dan (2) melawan penggambaran perempuan yang pasif dengan menunjukkan kerja keras Diana untuk tidak bergantung terhadap suaminya lagi.
Sebuah film bisa jadi punya wacana yang terbatas. Namun, bukan berarti gagasannya tidak bisa diperbincangkan secara luas. Programasi menjadi penting, karena masing-masing film bisa saling memperkaya wacana satu sama lain. Sebagai festival yang diadakan di area kampus dan diselenggarakan oleh mahasiswa, Ganffest lewat program “Behind Closed Doors”-nya memunculkan pertanyaan besar. Bagaimana bisa perspektif perantau—yang banyak terdiri dari mahasiswa—malah justru diabaikan? Wacana yang ditampilkan film pada akhirnya tidak berkembang lewat programnya. Menjadi sayang sekali karena program terkesan sekadar mengeksploitasi rasa sedih, alih-alih menunjukkan sikap atas fenomena yang memang riil terjadi dan jelas punya akar masalah yang jauh lebih kompleks dari sekadar rindu tak berbalas.