Sisyphus tetap mendorong batu ke atas gunung, meski ia tahu bahwa itu akan menggelinding jatuh lagi ke bawah. Mitologi Sisyphus sepintas menggambarkan bagaimana usaha manusia kerap berujung pada kesia-siaan. Sebagai empunya kuasa, Zeus memberikan Sisyphus hukuman yang jelas tidak pernah dipilihnya. Namun tidak berarti kisah itu tidak menawarkan dimensi lain. Jika kita menjadi Sisyphus, apa yang akan kita lakukan: Menjalani hukuman itu dengan bersungut-sungut atau memilih menikmatinya? Jika pada akhirnya kita tetap mesti mendorong batu, bukankah opsi yang kedua akan membuat langkah kita terasa lebih ringan? Terlepas dari apapun hasilnya nanti, kita mesti terus berjuang dan menikmati prosesnya.
Bak dua sisi koin, hidup kita ditentukan oleh serangkaian aspek eksternal ―yang kadang seolah hanya dapat kita terima begitu saja seperti pada cerita Sisyphus―, sekaligus pula oleh pilihan kita sendiri. Tensi dan negosiasi antara kedua sisi itu menjadi kesan kuat yang saya rasakan setelah menonton kedelapan nomine Film Terbaik Oscars 2019.
Penyelenggaraan Oscars selalu memancing riuh, dari diskusi hingga kontroversi, dan persis karena itulah ajang ini menjadi penting. Kisah-kisah yang diangkat para nomine, serta perhelatan Oscars sendiri setiap tahunnya menjadi tanda bahwa upaya menciptakan kehidupan yang lebih baik adalah perjuangan yang tidak berkesudahan.
Melalui film-film yang terpilih sebagai nominee Film Terbaik, khalayak diajak untuk melihat dan merespon berbagai persoalan dunia hari-hari ini. Roma (Alfonso Cuaron) merekam kelindan antara isu gender, kelas, dan konflik sosial. A Star is Born (Bradley Cooper) memotret ruang hidup personal dan kerapuhan manusia. Blackkklansman (Spike Lee), Green Book (Peter Farrely), Black Panther (Ryan Coogler) berbicara mengenai rasialisme yang kemudian terjalin dengan isu gender. Wacana yang sama tentu tidak dapat kita abaikan dari Bohemian Rhapsody (Bryan Singer), terlepas dari kesuksesan Freddie Mercury bersama Queen menghasilkan tembang-tembang legendaris. The Favourite (Yorgos Lanthimos) dan Vice (Adam McKay) mengangkat wacana politik melalui rekonstruksi sejarah Britania Raya dan Amerika Serikat,
Roma dan The
Favourite bersaing
ketat dengan
10 nominasi, sekaligus menjadikan
keduanya sebagai
film dengan nominasi terbanyak. Menariknya, kedua
film ini sama-sama
memotret hubungan antar
perempuan, beserta
relasi
kuasa
yang
menyelubunginya.
Bohemian Rhapsody, Vice, dan The Favourite adalah tiga biopik dalam daftar nomine. Sementara Roma dan Green Book diinspirasi dari kisah nyata pekerja domestik pada keluarga Alfonso Quaron, serta pengalaman Tony Lip Vallelonga, ayah dari sang penulis naskah Nick Vallelonga.
Roma dan Black Panther menandai tonggak sejarah Oscars. Sebab untuk pertama kalinya film besutan Netflix dan film superhero blockbuster berlaga dalam perebutan piala Film Terbaik. Pada perhelatan Academy Awards 24 Februari mendatang, melalui pemenang Film Terbaik dunia akan segera mengetahui pesan apa yang tahun ini hendak Oscars garisbawahi.
Pemilahan yang Keliru
Hidup Cleo (Yalitza Aparicio), seorang perempuan kelas bawah yang bekerja sebagai asisten rumah tangga tentu tidak seindah visualisasi aliran air yang membuka film Roma. Cleo adalah Sisyphus yang setiap hari merepetisi tugasnya: membangunkan anak majikan, membuka-tutup pintu garasi, menyediakan minuman, lalu mencuci kembali gelasnya. Ia bahkan tidak pernah tuntas menonton acara televisi. Serutin apapun Cleo membersihkan garasi, hewan peliharaan sang majikan tetap akan membuang kotoran. Dan tentu saja, Cleo yang akan diomeli majikan, bukan sang anjing. Hidup Cleo masih harus diperunyam oleh ulah kekasihnya, Fermin (Jorge Antonio Guerrero), dan gejolak sosial politik di Meksiko.
Nasihat Jackson Maine (Bradley Cooper) kepada Ally (Lady Gaga) dalam A Star is Born untuk menjadi dirinya sendiri rasanya akan terasa naif jika dikatakan pada Cleo. Kalimat yang sama juga tidak mungkin dikatakan Flip Zimmerman (Adam Driver) kepada Ron Stallworth (David Washington) dalam BlacKkKlansman ketika ia diminta menyamar sebagai Ron dan menyusup ke organisasi Ku Klux Klan.
Melalui jargon “jadilah dirimu sendiri”, kita diam-diam membayangkan bahwa aspek internal lebih penting dan berseberangan dari aspek eksternal. Seolah-olah sesuatu yang berasal dari luar akan menggerus kedirian. Padahal keduanya bak dua sisi koin yang sama pentingnya dalam membentuk hidup kita. Dalam Bohemian Rhapsody, Freddie Mercury (Rami Malek) kembali pada Queen setelah menyadari bahwa karya yang bagus justru lahir dari “pertengkaran” antara ia dengan tiga sahabatnya. Ironisnya, tokoh Maine dalam A Star is Born justru kian terpuruk karena sifatnya yang cenderung menyendiri dan tidak kompromis.
Ketimbang mempertentangkan
antara aspek internal atau
eksternal yang membentuk diri manusia, pemilahan antara aspek natural
atau kultural akan lebih signifikan. Sebab
banyak ketidakadilan lahir karena aspek kultural dianggap sebagai sesuatu yang kodrati dan
mesti diterima begitu
saja. Dalam tulisan mengenai Oscars 2018, saya menjelaskan bagaimana penindasan sering menyamar menjadi sesuatu yang natural ―kemalangan atau ketidakmujuran― dan seolah mesti ditanggung
dengan sikap pasrah.
Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody, Don Shirley (Mahershala Ali) dalam Green Book, dan Ron Stallworth dalam BlacKkKlansman jelas tidak pernah memilih untuk lahir di keluarga mana, serta terlahir dengan fisik macam apa. Namun perisakan serta diskriminasi yang mereka terima adalah persoalan lain, dan bukan sesuatu yang alamiah. Dalam Black Skin, White Masks yang terbit 1952, Frantz Fanon mengungkapkan bahwa seseorang mendapat label “kulit hitam” karena ada “kulit putih” yang dianggap sebagai standar ideal. Dalam tulisan yang sama, Fanon juga mengkritik Tarzan, film yang juga disebut- sebut oleh Kwame Ture (Corey Hawskins) dalam adegan pidatonya pada BlacKkKlansman. Tarzan digambarkan sebagai karakter protagonis yang memberantas orang kulit hitam. Dan orang kulit putih mengidentifikasi dirinya dengan Tarzan.
Sama halnya dengan penolakan yang dialami Ally karena ukuran dan bentuk hidungnya. Olok-olok yang diterima oleh Ally bukanlah pertama-tama persoalan apakah ia menjadi dirinya sendiri atau tidak, melainkan perkara standar yang serampangan: Bagaimana seorang penyanyi tidak dinilai dari suara melainkan dari bentuk hidungnya?
Ratu Anne (Olivia Colman) dalam The Favourite dan Dick Cheney (Christian Bale) dalam Vice menjadi seperti Zeus dalam kisah Sisyphus. Nasib rakyat Britania Raya mengenai perang dan besaran pajak berada di tangan seorang ratu, yang ironisnya mendasarkan keputusan berdasarkan relasi terselubungnya dengan dua perempuan: Sarah Churchill (Rachel Weisz) dan Abigail Masham (Emma Stone).
Setali tiga uang, lobi-lobi elit politik Dick Cheney bisa menjungkirbalikkan nasib rakyat Afghanistan dan Irak. Dari warga sipil biasa menjadi pengungsi, atau bahkan teroris yang dihukum keji. Korban jiwa yang berjatuhan akibat perang dan agresi militer menunjukkan bagaimana kematian ―yang sering dianggap sebagai suatu yang natural dan tidak terelakkan― pada kondisi-kondisi tertentu juga tidaklah sealamiah itu. Sebaliknya, justru bisa amat ditentukan oleh campur tangan manusia.
Inklusif
Cleo tentu tidak pernah menyangka bila niat berbelanja kebutuhan bayi akan berubah menjadi petaka karena bertepatan dengan insiden bentrokan demonstran. Ia juga tidak pernah memilih untuk melahirkan bayinya dalam keadaan tidak bernyawa. Namun ketika dua anak majikannya nyaris terseret ombak, Cleo yang tidak bisa berenang tetap memilih menceburkan diri untuk menyelamatkan keduanya. Adegan-adegan dalam Roma itu relatif tepat untuk menggambarkan bagaimana kita menjalani keseharian. Hidup kita berjalan melalui dialog dan negosiasi terus-menerus antara stimulus eksternal dengan kehendak dan pilihan kita. Kita ditentukan situasi, sekaligus pula menentukan situasi.
“Menceburkan diri” menjadi ungkapan yang juga tepat untuk menggambarkan
keberanian seorang kulit hitam, Ron Stallworth, dengan mendaftarkan diri menjadi petugas
kepolisian Colorado Springs, dan Don Shirley untuk menjelajah wilayah selatan Amerika Serikat. Dalam adegan diskusi dengan Patrice (Laura Harrier), Ron mengatakan pendapatnya bahwa perubahan dapat dilakukan dari dalam sistem. Dengan demikian, alih-alih “menjaga jarak aman”, usaha “menceburkan diri” menunjukkan adanya keberanian untuk melampaui batasan-batasan yang acap kali semu. Selayaknya yang ditunjukkan Don Shirley ketika melawan pihak yang bersikap rasis, serta keputusannya untuk datang dan merayakan natal bersama keluarga Tony Lip (Viggo Mortensen).
Persahabatan antara Tony Lip dan Don Shirley tidak akan terjadi seandainya Don tidak mengambil resiko untuk mempekerjakan dan berinteraksi dengan Tony. Melalui adegan ketika Shirley dipandang dengan tatapan ganjil oleh para buruh kulit hitam, serta adegan Tony merasa dirinya “lebih hitam” daripada Don, Green Book menunjukkan bahwa batasan dan pengotak-kotakkan manusia selalu tidak memadai. Hal yang sama terjadi pada ke-Yahudi-an Zimmerman dalam BlacKkKlansman. Dalam stereotipe selalu terjadi generalisasi yang sewenang-wenang, serta penyuntingan kenyataan: orang dipaksa masuk ke dalam “kotak” dan diseragamkan.
BlacKkKlansman bahkan secara sarkas menertawakan batasan-batasan konyol, yang ironisnya sukses menciptakan ketidakadilan. Dalam salah satu adegan, petinggi (organisasi) Ku Klux Klan, David Duke, menjelaskan pada Stallworth dengan jumawa bahwa ada cara bertutur yang berbeda antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Seperti reaksi Sersan Trapp (Ken Garito) yang menguping percakapan telepon itu, penonton sontak tergelak tawa. Dan kita sekaligus pula dipaksa menertawakan diri sendiri karena persis hanya Homo sapiens yang melakukan hal semacam itu.
Melalui kontratipe gambaran kulit hitam, film superhero afro-futuristik Black Panther juga memperlihatkan sikap yang serupa: eksklusivitas menjadi inklusivitas. Interaksi antara T’Challa (Chadwick Boseman) dengan Nakia (Lupita Nyong’o) dan Martin Freeman (Everett K. Ross), serta perselisihannya dengan Erik Killmonger (Michael B. Jordan) mengubah wajah Wakanda. Dari yang mulanya menutup diri demi dalih proteksi, kemudian memilih untuk turut aktif dalam menciptakan dunia yang lebih baik. Wakanda justru “menjadi dirinya sendiri” ketika T’Challa berbicara di hadapan bangsa-bangsa lain.
Tak Berkesudahan
Mitos Sisyphus (Le Mythe de Sisyphe) adalah karya filsafat dari Albert Camus yang terbit pada 1942 dalam Bahasa Perancis. Dalam esai tersebut, Camus mengatakan bahwa keabsurdan
mesti dilawan, dan
perjuangan adalah sesuatu yang membahagiakan. Oleh
sebab itu, perkataan Tony Lip menjadi seruan yang tidak hanya penting kepada Don Shirley, melainkan juga kepada dunia: stand up for yourself. Angkat bicara, serta upaya untuk
memelihara
harkat
dan martabat
adalah
hak sekaligus kewajiban
sebagai
manusia.
Kecendrungan itu pula yang membuat jajaran nomine Film Terbaik Oscars tahun ini terkesan lebih optimis ketimbang tahun lalu. Meski demikian, film-film ini tetap mewanti-wanti kita agar tidak tergelincir dalam perjuangan kemanusiaan yang semu.
Adegan teriakan bersahutan antara “black power” dan “white power” dalam BlacKkKlansman mengisyaratkan bagaimana perjuangan rawan tergelincir pada kesalahan yang sama: korban berbalik menjadi pelaku. Pengalaman masa lalu yang pahit juga rupanya tidak membuat Fermin dalam Roma mampu bersikap baik kepada Cleo dan bayi mereka. Memperjuangkan diri sendiri tidak berarti harus mengorbankan pihak lain.
Tujuan yang mulia juga tidak seharusnya dicapai dengan cara yang buruk. Dalam Black Panther, perjuangan Erik Killmonger untuk membela kulit hitam di seluruh dunia, tidak hanya diupayakan dengan cara yang keliru, ia bahkan mengarahkan korban untuk membalas para pelaku.
Di lain pihak, perjuangan bukan hanya milik mereka yang tertindas. Kita tidak dapat hanya berongkang-ongkang kaki karena merasa hidup baik-baik saja, atau sudah ada orang lain yang mewakili kita untuk berjuang. Tony Lip dalam Green Book jelas tidak sekedar membuka pintu rumahnya untuk Don. Don sudah menjadi anggota keluarga bagi Tony. Dalam A Star is Born, curahan cinta Ally dan kepedulian Bobby (Sam Eliott) tidak menyelamatkan Maine dari ketergantungan alkohol dan obat-obatan. Sementara dalam The Favourite, kuasa dan keserba-adaan dalam hidup Ratu Anne tidak menjamin kebahagiaannya. Sebab
―sebagaimana yang dikatakan Camus― kebahagiaan lahir dari perjuangan; bukan sesuatu yang sudah ada dan tinggal dipetik saja.
Bila kita membayangkan kemanusiaan seperti kata benda, perjuangan pasti terasa melelahkan dan seolah tidak berujung. Cara pandang seperti itu juga yang membuat istilah seperti “kemerdekaan” dan “cinta” terasa klise. Kita dengan mudah merasa tidak benar-benar merdeka, atau merasa waktu akan melunturkan cinta. Namun ketika kita melihat cinta, kemerdekaan, dan kemanusiaan sebagai kata kerja, perjuangan tidak terasa menjadi beban, melainkan kesempatan. Kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik dan membahagiakan.
Dengan otokritik sarkas yang didasarkan pada sejarah muram Amerika Serikat, Vice
berusaha menunjukkan sisi lain dari proses
perjuangan kemanusiaan. Pemimpin yang buruk, serta
ketidakmampuan kita untuk bersifat kritis dapat melahirkan berbagai bencana kemanusiaan. Bahwa benar tidak ada
manusia yang sempurna, namun itu bukanlah pembenaran untuk
membiarkan kekeliruan.
Sebaliknya, yang perlu kita lakukan
adalah
belajar dari
kesalahan, serta berupaya tidak mengulanginya lagi. Keengganan untuk mengakui kesalahan, justru adalah sebuah
kesalahan, yang akan melahirkan rentetan kesalahan lain.
Penyelenggaraan Oscars tentu tidak sempurna, dan tidak akan pernah sempurna. Namun ajang ini penting bagi dunia. Pada titik ini, kita bisa mengandaikan bahwa sebagaimana Vice, perhelatan Oscars adalah juga sebuah cara untuk bercermin dan mengevaluasi kemanusiaan.
Saya membayangkan gelaran Oscars tak ubahnya Freddie Mercury di penutup film Bohemian Rhapsody. Kita menyatukan suara dan bergandengan tangan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. “We are the champions, my friends. And we’ll keep on fighting ‘till the end….”
*Tulisan ini pertama kali dipublikasi oleh Jurnal Ruang pada Februari 2019