Bagi yang sudah menonton film(-film) Edwin, mungkin sudah mengenali salah satu karakteristik film Edwin: peran ruang dan waktu yang longgar dan tidak mengekang. Posesif menjadi tawaran yang menarik sebagai gubahan teranyar Edwin karena struktur naratif tiga babak yang konvensional (yang menulis memang Gina S. Noer, tapi Edwin juga punya andil dalam pembentukan tokoh-tokohnya). Lantas menelusuri Lala sebagai tokoh utama dengan menempatkannya bersama Kara dan Lana (they rhyme nicely!) ternyata bisa memberi pembacaan yang lain.
Sebagaimana film Edwin yang lain, kita dapat melihat unit keluarga Lala dan Yudhis terlebih dahulu untuk secara luas membahas soal posesifitas ini. Selain sama-sama kurang 1 anggota keluarga nuklir, ternyata orangtua jadi yang paling ngehek mengatur anak-anaknya. Di rumah, ayah Lala adalah loncat-indah freak yang mengharuskan Lala menekuni loncat indah karena sudah menjadi tradisi keluarga, (atau paling tidak supaya mudah masuk UI—a nod to most parents in Indonesia with public-university fetish). Ibu Yudhis adalah control freak yang sebenarnya tidak bisa berpisah dengan Yudhis tapi menyatakannya seolah Yudhis yang tidak bisa berpisah dengan sang ibu. Ia juga mengklaim dirinya yang paling mengerti Yudhis serta menurunkan tradisi “aku masuk ITB” pada Yudhis. Dari sini model sistem patriarki mini sudah terlihat: seorang ayah yang menggariskan nasib keluarga (seolah Lala tidak bisa), serta seorang ibu yang tidak mampu melepas identitas keibuannya, alhasil serta trait posesifitasnya pun terprojeksi pada identitas anaknya—sama-sama demanding kepada Lala. (Dengan cerdik hal ini juga terlihat dalam ranah publik—sekolah—yang biasa menyematkan guru sebagai “orangtua” muridnya: mengeksklusi murid yang tidak menaati aturan semata-semata karena “pokoknya” harus ditaati!)
Apabila ditilik lebih jauh, posesifitas dan bentuk-bentuk “permintaan” ayahnya dan Yudhis pada Lala adalah bentuk toxic masculinity. Ketika Lala tidak mau melanjukan loncat indah dan “menjaga kepercayaan sang ayah [soal Yudhis]” atau memberikan waktu dan “kepercayaan” lebih untuk Yudhis, ayah Lala dan Yudhis marah karena “permintaanya tidak terpenuhi”. Secara kasat mata, ini mungkin hanya dilihat sebagai watak yang egois semata. Namun, melihat mereka sebagai “ayah” dan “pacar”, hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari gender mereka sebagai laki-laki dengan ciri maskulinitas paling toxic: merasa berhak mendapatkan apapun dari perempuan, termasuk identitasnya.
Ketika Lala tidak menurut, mereka memosisikan diri mereka dahulu sebagai “korban”, lantas meletakkan Lala sebagai korban seharusnya pada situasi yang membingungkan. Yudhis merasa dirinya diangap sebagai “supir” belaka dan pacar yang lebih “baik” (sehingga menempatkan Lala sebagai pacar yang “kurang baik”—bahkan perek) padahal Lalalah yang secara jasmani dan rohani ditekan oleh Yudhis. Melihat tanda-tandanya, sang ayah malah justru menghakimi Lala “telah mencoreng nama keluarga”. Tradisi loncat indah yang “tidak diteruskan” Lala juga membuat Lala dianggap “bukan anak seutuhnya”, padahal Lala merasa tidak nyaman disamakan dengan Jihan dan ibunya. Kalau memang Lala dan ayahnya adalah pinguin[1], maka Yudhis adalah orca yang sering salah dikira paus [2]!
Apabila kaca akuarium adalah batas-batas normatif, maka Lala yang mencoba keluar darinya (seolah) akan lebih sulit diterima UI. Ia juga kehilangan kesempatan “beruntung” untuk bisa kawin dengan Yudhis—yang dikira Ega penguin kaisar alfa sepertinya. Kapabilitas dan identitas diri Lala seolah akan hilang ketika ia mencoba melepas diri dari embel-embel patriarki.
Lantas Lala mencoba “melawan” (sendirian—nyatanya Ega tidak bisa mengerti Lala sedangkan Rino kalah alfa). Sebagaimana Ronald dalam Anak Sebatang Pohon, ayah Lala dan Yudhis “tidak runtuh, hanya bergeming”. Ia luluh pada kata maaf dari ayahnya dan akhirnya toh meneruskan loncat indah juga (cukup abu-abu sebenarnya apakah dia benar-benar ingin atau tidak). Seperti Kara, Lala terlalu muda untuk bisa memperbaiki Yudhis meskipun sudah memahaminya. Lebih ironis, disini Lala jadi seperti manic pixie girl buat Yudhis yang akhirnya sadar bahwa mereka masih terlalu muda dan berbahaya untuk bisa hidup berjaya mandiri di Bali dwipa. Setelahnya jadi sangat mirip dengan Lana pada Postcards: habis manis sepah dibuang di pinggir jalan (tol!). Sepertinya laki-laki memang akan selalu membuang perempuan (binatang jalang?) yang dianggap “berdosa” dari kumpulannya tim loncat indah DKI atau mobil Corolla.
Sayang Lala bukan Anne Hatheway yang bisa menjadi raksasa, atau Yudhis tidak bisa jadi Newt Scamander. Sebagaimana film-film Edwin lain, tidak ada tokoh perempuan yang dipastikan “selamat” dari (jerat pandang) laki-laki, bahkan Lala di adegan terakhir. Tapi tenang, ada penyunting mahagokil yang menghilangkan eksistensi Yudhis secara paksa dan literal. Sepertinya kalau laki-laki (penyuntingnya laki-laki) juga tidak mengubah (bukan cuma berubah) laki-laki lainnya menjadi @lakilakibaru, sepertinya patriarki masih akan berdiri tegak saja selamanya.
***
[1] Pinguin kaisar jantan mengerami anaknya selama 60-an hari, dan memeliharanya sampai tumbuh besar selaam 150-an hari, sedangkan pinguin kaisar betina yang mencari makan. Pinguin kaisar jantan seringkali disematkan sebagai ayah-hewan terbaik. Saya sendiri merasa hubungan tersebut mirip dengan relasi Lala dan ayahnya, yang ditinggal mendiang sang ibu. Apabila pada paruh awal film ayahnya cukup protektif, pada akhir film hal tersebut mulai mencair (kalau tidak seutuhnya), sebagaimana anak pinguin yang dilepas apabila sudah bisa mencari makan sendiri.
[2] Orca masuk famili Delphinidae (dia ternyata lumba-lumba), sedangkan paus (yang dipersepsi scara umum seperti paus biru, juga paus bungkuk yang patungnya ada di NuArt Park) masuk dalam famili Balaenopteridae. Kadang-kadang Orca juga memakan penguin. Tidak hanya pada Lala, keberadaan Yudhis sebagai predator juga terlihat dari reaksi ayah Lala yang terkesan protektif ketika ia datang ke rumah.