Filosof Susanne Katherina Langer meyakini bahwa film ibarat sebuah mimpi. Dalam percakapan keseharian, kita memahami mimpi sebagai pengalaman saat tidur, dan angan-angan yang ingin diraih dalam kenyataan. Humba Dreams, karya terbaru Riri Riza yang memenangkan CJ Entertainment Awards di Asian Project Market (APM) Busan International Film Festival 2017, memilih untuk menjalin kesemuanya itu: bunga tidur dan angan, serta film, mimpi, dan kenyataan.
Mimpi Siapa?
Kisah Humba Dreams bermula ketika Martin (J.S. Khairen), seorang mahasiswa jurusan film di Jakarta, mendadak mesti pulang ke Sumba (Humba) setelah sang dukun adat (Nggodu) di desanya mendapatkan wangsit melalui mimpi. Dalam mimpi itu, almarhum Ayah Martin berpetuah agar film seluloid karyanya dipertontonkan kepada warga desa. Martin yang tidak kuasa mengelak akhirnya berpetualang menjelajah Sumba agar dapat memenuhi mimpi Sang Ayah, meskipun itu berarti ia terpaksa menggesampingkan Tugas Akhir yang tenggat waktunya kian dekat.
Karakter Martin sebagai protagonis dalam Humba Dreams terasa menarik. Sebagai orang yang belum terlalu lama pindah ke Jakarta untuk berkuliah film, Martin lebih mirip pelancong ketimbang “putra daerah”. Ia nampak identik dengan gambaran pemuda generasi Z di kota besar. Upaya Martin mencari jawaban atas persoalan dimulai dari internet, yang didahului dengan mencari akses wifi. Dalam sambungan telepon dengan rekan sekelompok Tugas Akhir-nya, Martin menyebut wangsit yang diterima sang dukun adat sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, ngeselin, dan ribet.
Baik mimpi dukun adat, maupun mimpi sang Ayah untuk memutarkan film kepada warga desa, lebih terasa seperti tekanan sosial bagi Martin. Sesuatu yang lantas berusaha dipenuhinya hanya semata-mata sebagai kewajiban. Dapat dikatakan, Martin berjarak dengan “identitas terberi” dan tanahnya sendiri.
Barangkali memang tidak mudah menyandarkan tindakan kita berdasarkan mimpi orang lain. Begitu pula dengan Martin, ia baru terjaga dengan mata membelalak setelah mengalami mimpinya sendiri. Pertama, mimpi tentang almarhum ayahnya. Kedua, mimpi mengenai sosok Anna (Ully Triani), perempuan yang bekerja di homestay tempat Martin menumpang akses internet. Rasa takut dan hasrat yang timbul dari kedua mimpi itu menjadi dorongan yang efektif bagi tindakan Martin.
Dalam perjalanan meraih kedua mimpi tersebut―memproses film seluloid agar dapat dipertontonkan kepada warga desa sesuai amanat sang Ayah, dan menjalin hubungan dengan Anna―Martin menunjukkan sikap yang ganjil. Sebagai sesama orang yang kehilangan anggota keluarganya, Martin tidak berempati kepada Anna yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu suaminya. Termasuk ketika di tengah-tengah petualangannya menjelajah Sumba, Martin menyempat-nyempatkan diri menanti dan mengikuti Anna di sebuah ruas jalan raya―entah apakah itu adalah sebuah kebetulan yang didorong rasa penasaran, gelagat mengutit, atau bentuk eskapisme dari kebingungan mewujudkan pesan mendiang Ayah―. Martin bahkan dengan lugas (baca: lancang) menginsyaratkan kepada Anna bahwa ia menghasratinya, dan itu berarti secara implisit mengharapkan suami Anna tidak kembali hidup-hidup. Saya membandingkan sikap Martin kepada Anna dengan sikap awal Martin terhadap wasiat mendiang sang Ayah yang terkesan setengah hati karena kewajiban sosial yang diembannya. Sikapnya kepada Anna terasa seperti bentuk lain dari minimnya empati kepada keluarganya sendiri.
Pertemuannya dengan Anna lantas tidak hanya mengantarkannya pada tercapainya angan untuk menayangkan film karya sang Ayah kepada komunitas lokal, melainkan juga memuluskan pencariannya untuk mengetahui apa yang sebenarnya ingin ia ceritakan pada dunia lewat film. Tidak cuma itu, hasrat Martin untuk bersama Anna pun dapat tergenapi karena dimuluskan oleh kabar bahwa suami Anna telah tiada.
Rangkaian keinginan dan usaha Martin, yang lantas diganjar “pencapaian”, memperlihatkan posisi Humba Dreams dalam melihat angan dan kenyataan: mimpi individu dan kolektif tidaklah bertentangan, dan malahan dapat diraih bersamaan. Di saat bersamaan, Humba Dreams seolah ingin menunjukkan juga bahwa kepentingan individu ala kota nan “modern” dapat “berdamai” dengan kehendak kolektif yang kerap diasosiasikan dengan komunitas lokal. Kemaslahatan bersama dimungkinkan dengan dua cara: menghayati nilai kolektif lantas mengadaptasinya sebagai nilai pribadi, dan/atau menemukan irisan antara kepentingan individu dan kolektif. Lihatlah Martin yang awalnya berberat hati karena mesti bersusah payah memproses film seluloid, akhirnya ia menemukan antusiasme pribadinya dari “dunia analog”, dan tentu saja―sebagaimana adegan penutupnya―sosok pujaan hati.
Namun persis karena digambarkan demikian, saya lantas bertanya-tanya, bagaimana jika kedua mimpi tidak dapat beririsan? Misalnya ketika individu tidak diuntungkan dan malah dirugikan secara pribadi dari tercapainya kehendak kolektif. Bagaimana jika Martin tidak berjumpa dengan Anna dan tidak menghasratinya, apakah rasa takut dan kewajiban kolektif akan tetap efektif mendorong Martin?
Mimpi adalah kunci bagi kita untuk menaklukkan dunia…..
Teknologi sebagai Jembatan
Kemera seluloid warisan sang Ayah menjadi semacam “mainan”―atau “senjata”?―baru bagi Martin. Ia yang awalnya terkesan ogah-ogahan memenuhi wasiat sang Ayah, tiba-tiba keranjingan merekam apapun. Martin seakan tidak lagi dipusingkan oleh keharusan membuat skenario, seperti desakan kewajiban akademiknya. Sumba adalah dunia yang menawarkan segalanya, dan Martin―sebagai sang pemilik pengetahuan dan perangkat teknologi―dapat memfilmkannya.
Dengan menyandingkan lokalitas dan seluloid ke dalam tangan seorang pemuda generasi Z yang merantau di kota, Humba Dreams berupaya menandai pentingnya keberjarakan. Pengambilan jarak memungkinkan seseorang menyadari hal-hal yang sebelumnya sudah ada di depan tetapi luput dan berlalu begitu saja, untuk kemudian dimaknai secara berbeda. Di titik ini, Humba Dreams menempatkan kamera sebagai perangkat penting yang menjembatani antara manusia dan dunia, seperti Martin yang tidak lagi bersikap taken for granted dan terpesona pada upacara adat di Sumba.
Rentetan sikap yang ditunjukkan Humba Dreams mengingatkan saya dengan pemikiran Walter Benjamin dalam The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. Saya sendiri tidak tahu apakah dalam pembuatan naskah Humba Dreams Riri Riza memang sengaja mengacu pada gagasan Benjamin. Namun jika memang benar demikian, saya dapat menduga-duga lebih lanjut: mungkinkah Riri Riza diam-diam membayangkan Netflix sebagai cara untuk “mengaktifkan tubuh kolektif”, seperti yang dibayangkan Benjamin?
Dalam konferensi pers daring Humba Dreams yang diselenggarakan oleh Netflix 10 Juli lalu, saya berkesempatan untuk bertanya kepada Riri Riza. Apakah melalui kisah Humba Dreams, ia hendak mengatakan kepada para sineas di kota-kota besar untuk menceritakan mengenai “kampung halaman”-nya, atau dalam perkataan lain: kisah-kisah lokalitas Indonesia? Saya sendiri melihat itu menarik, sebab sebagaimana Humba Dreams ditayangkan secara eksklusif oleh Netflix, ada isyarat kian mesranya relasi global-lokal (glokal). Jawaban Riri Riza kurang lebih berkesesuaian dengan dugaan tersebut, tetapi ia menambahkan lebih lanjut. Bahwa sekalipun materi cerita sudah tersedia di sekitar kita, tetap dibutuhkan keahlian untuk meracik “bahan mentah” tersebut. Dari sini relatif jelas mengapa Martin digambarkan sebagai anak sekolah film di Jakarta.
Posisi “hibrida” sebagai warga lokal sekaligus anak kota, digambarkan Humba Dreams dengan cara yang cenderung problematis: objektivikasi. Tidak hanya melalui kamera, mata Martin juga mengintip ke ruang-ruang personal, termasuk ketika ia melalui sela-sela jalinan dinding bambu melihat Anna berganti baju. Ada semacam hasrat untuk menguasai “sesuatu yang asing dan misterius” dalam tatapan Martin. Martin mengafirmasi metafora Suzzane Moore yang sebelumnya saya singgung dalam tulisan “Perempuan Punya Cerita dan Desakan Melodrama” yang dimuat oleh Jurnal Ruang (https://jurnalruang.com/baca/film/perempuan-punya-cerita-dan-desakan-melodrama/), bahwa maskulinitas menjadikan perempuan sebagai sesuatu yang perlu dijelajahi seperti dalam perjalanan wisata.
Seiring dengan petualangan Martin, sepanjang durasi 75 menit penonton juga diajak menyaksikan berbagai problematika masyarakat Sumba, seperti ketiadaan identitas legal dan buruh migran. Dari sini dapat dipahami mengapa Riri Riza menggambarkan kepibadian Martin secara ambigu, sebab ia hendak “meminjam” mata Martin untuk menunjukkan keterperangahannya terhadap persoalan di daerahnya sendiri. Di balik mahsyurnya citra Sumba sebagai destinasi wisata, ada wajah-wajah lain yang selama ini tak diketahui. Tidak-diketahui tidak sama dengan tidak-ada. Kisah-kisah individu dan kolektif yang saling centang-perenang menjalani hidup keseharian. Melalui kisah-kisah keluarga yang kehilangan anggotanya yang merantau sebagai buruh migran, penonton seakan diingatkan bahwa rumah tangga di Sumba tidak seindah foto pre-wedding di hamparan sabana yang kerap dilakukan para pelancong.
Sebagaimana Martin dan warga desa yang “bertemu kembali” dengan sang ayah melalui film, Humba Dreams mengisyaratkan bahwa dengan menggandeng teknologi―disinggung pula reproduksi foto, penyebaran informasi lewat radio dan media sosial―, ada mimpi untuk bertemu kembali dengan orang yang dikasihi. Sebuah keinginan untuk mengabadikan ruang dan waktu. Nampaknya melalui Humba Dreams, Riri Riza berupaya “mempertemukan” mimpi dan realitas, teknologi analog dan digital, modernitas dan lokalitas, serta individu dan kolektivitas. Istimewa pula menyaksikan bagaimana narasi keterpukauan pada dunia analog (seluloid, non-digital) justru ditampilkan pada Netflix yang merupakan platform digital.
Aneka permasalahan sosial yang diperlihatkan Humba Dreams lantas menerbitkan rasa mengganjal di benak sekalipun tontonan telah tuntas: bagaimana saya mesti memaknai ini? Sesuatu yang “layak disyukuri” karena setidak-tidaknya Martin―si anak Sumba yang mengeyam pendidikan di kota―sudah merealisasikan segala kepentingannya, termasuk pula menunaikan kehendak komunitas adatnya? Ataukah sebaliknya, bahwa keberhasilan untuk mempertemukan kepentingan individu dan kelompok hanya dimungkinkan dalam lingkup sosial yang kecil? Martin dapat menunaikan wasiat mendiang Ayahnya, mempertontokan film pada komunitas adatnya, menjalin hubungan dengan Anna, dan persoalan Humba akan terus bergulir. Saya mulai cemas, bagaimana bila nanti bahkan ketika Martin sudah kembali ke Jakarta dan Tugas Akhir-nya telah rampung, Sumba masih terus bermimpi.